Kamis, 04 November 2010

B E B U K A 1

Tak kenal,
Makanya tak sayang …
Tak sayang,
Makanya tak cinta …
Begitu pepatah namanya

Naufal Itmami, namaku. Terserah orang mau memanggilku apa. Keluargaku memanggilku apa adanya, Naufal. Kata mereka, nama adalah doa. Naufal berarti pemuda tampan dan Itmami yang berarti sempurna. Lah, kalau salah panggil berarti salah doa juga dong! So, jangan macam-macam dengan yang namanya doa itu.
Lain dengan teman-temanku, baik dulu waktu masih SMU ataupun sekarang di pesantren, mereka memanggilku dengan Opang. Kata mereka, gampangan pakai huruf "p" dari pada "f".
Terserahlah kalian mau memanggilku apa!
Aku adalah seorang santri di sebuah pesantren. Yayasan Pondok Pesantren Pring Petuk, namanya. Di daerah pegunungan Tlagayasa, Karangreja, Purbalingga. Daerah yang masih sangat asri dengan panorama alam pegunungannya ini, sebenarnya tidak jauh beda dengan kota kelahiranku, Wonosobo. Tapi perasaanku lebih kerasan di sini.
Mungkin karena lebih gampang untuk melupakan masa laluku meski terasa berat sebenarnya. Tapi berkat suport dari teman-temanku di pesantren dan pemulasaraan2nya pengasuh pesantren, akhirnya aku berhasil dengan susah payah melupakannya.
Banyak perubahan yang terjadi setelah aku bergaul dengan suatu kaum yang mulanya tak pernah aku mau mengenalnya, kaum bersarung-peci. Baik sifat, kepribadian maupun cara bicara. Hampirlah boleh dikatakan Naufal Itmami telah berubah 99,99%. Dulu aku berbicara sekenanya, njewah. Tak pernah pandang bulu. Entah orang itu sudah tua atau masih muda. Tetap bahasaku “lo” dan “gue”. Sekarang aku kudu berpikir terlebih dahulu siapa orang yang aku ajak bicara. Bukankah orang bodoh adalah orang yang berbicara dulu baru berpikir. Dan orang pintar, (minum tolak angin, … sorry … koq ngiklan?) adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru berbicara. Apakah orang yang aku ajak bicara lebih tua atau lebih muda dari aku. Lebih tua? Kalau bisa pakai kromo inggil. Kalau nggak bisa? Bukankah kita punya bahasa nasional? Bahasa Indonesia lah jalan keluarnya. Hanya saja aksen anda aku ganti dengan panjenengan. Lebih kelihatan sopan kan? Itulah uniknya bahasa jawa. Punya banyak kata untuk satu tujuan dengan tingkatan berbeda-beda. Ada panjenengan, ada sampeyan, ada koe dan masih ada yang lain.
Kyai Haji Ubaid el Zaky, pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Pring Petuk yang lebih terkenal dengan YP4-nya adalah salah seorang ulama yang alim, waro' (hati-hati)3, dan zuhud4. Terlalu sulit untuk menemukan guru atau lebih tepatnya panutan seperti beliau di zaman akhir seperti ini.
Klasifikasi seorang pemimpin rumah tangga yang ideal banget. Aku yang sebagai muridnya saja bisa merasakan keteduhan di bawah bimbingan beliau. Cara pendidikan beliau bukan nggurui tapi nyontoni. Bukan hanya memberikan teori saja tapi pada prakteknya dalam kehidupan sehari-hari beliau melakukannya. Beliau selalu memberikan keteladanan yang haqiqi sesuai dengan tuntunan junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Beliaupun bisa menempatkan diri di mana beliau menjadi guru, orang tua, teman dan lain-lain. Tatkala putra-putrinya sedang ada masalah beliau menempatkan diri sebagai teman curhatnya. Apapun yang diceritakan mereka, didengarnya dengan seksama. Tak pernah ada kata “memaksakan kepentingan pribadi” pada lawan curhatnya. Pada ujungnya, nasehat bijaksana selalu ditunggu mereka. Beliau keras, tapi bijaksana memegang prinsip. Tak pernah beliau menuntut sesuatu untuk kepentingan pribadi beliau sendiri.
Kebiasaan beliau tadarrus fil kutub menjadi pelajaran penting bagi kami. Beliau yang sudah alim saja masih terus belajar, kenapa kita yang nggak pintar-pintar nggak mau belajar? Bahkan untuk memotivasi putra putri dan murid-muridnya, beliau mengatakan “pintar itu wajib”. Kenapa? Karena ada pendapat yang mengatakan ibadahnya orang bodoh itu ditolak alias tidak diterima. Contohnya orang yang shalat tak memakai ilmu bagaimana shalatnya akan diterima, hanya jengkang-jengking kayak jangkrik, tanpa doa dan usaha untuk khusyu’. Apakah shalat seperti itu akan diterima?
Pernah suatu ketika aku mendengar seorang kyai mengatakan, … Mulâzamatus sukût, mulâzamatul buyût, muthôla'atul kutûb Waliyyu hâdzaz zamân. Wali jaman sekarang adalah seorang yang nggak banyak omong, nggak sering pergi dan senang mengkaji kitab suci, hadits dan kitab-kitab para ulama terdahulu, begitu kira-kira maksudnya. Imam Syafi'i juga pernah berkata, seandainya wali adalah bukan seorang ulama, maka Allah SWT tidak punya wali. Kalau boleh lebih dijelaskan, seorang wali itu pasti juga seorang ulama. Karena, seorang wali ilmu bathiniyyah saja tahu apa lagi ilmu dzahiriyyah sudah pastilah dapat dikuasainya. Tapi seorang ulama belum tentu wali. Karena apa? Karena ada ulama yang tidak mengamalkan ilmunya dan ada pula ulama su’ atau ulama yang jelek perangainya.
Menurut Imam Abu Laits as Samarqondy, ulama ahli ilmu itu harus punya sepuluh sifat. Sifat yang merupakan warisan dari Nabi Muhammad SAW ini harus dimiliki oleh seorang yang di sebut ahli ilmu. Salah satu sifatnya adalah an-nashihah atau irodatul khoiri lil ghoiri. Seorang yang mengaku dirinya ahli ilmu, obsesi hidupnya harus selalu membawa kebaikan kepada orang lain. Melihat masyarakat rusak, diperbaiki. Melihat orang melakukan maksiat, dinasehati. Melihat orang seperti memusuhi, disayangi.
Melihat pengertian wali yang aku peroleh dari berbagai sumber tersebut, aku berpendapat Kyai Ubaid el Zakky adalah seorang wali. Tepatnya wali jaman sekarang. Tapi, entahlah … itu hanyalah penilaianku. Mutlak. Sebab, laa ya’riful waliyyu illal waliyya. Tidak ada yang mengetahui seseorang itu wali, kecuali seorang wali juga.
Santrinya nggak terlalu banyak. Hanya sekitar 20-an anak, putra-putri. Beliau berpendapat, mempunyai santri satu tapi dengan kualitas keilmuan yang mumpuni5 lebih membuat bahagia dari pada mempunyai santri seribu tapi mbolosondo6. Tapi akan lebih membuat bangga lagi mempunyai santri seribu dengan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Syeikh Abu Abdillah Jamaluddin bin Muhammad bin Abdullah bin Malik atau lebih tenar dengan sebutan Syeikh Ibnu Malik, pengarang kitab Alfiyah, kitab yang menjadi pegangan santri-santri di pesantren baik di Indonesia maupun di luar negeri dalam kajian bahasa 'araby-nya. Beliau juga terkenal sebagai seorang tokoh sufi karismatikal di zamannya. Punya berapa santri? Jawabannya, hanya mempunyai satu santri. Ya, hanya satu tok. Tapi keilmuan satu santri yang dimilikinya itu tidak bisa disepelekan begitu saja.
Dialah Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an Nawawi ad Dimasyqiy an Nawawi, yang dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau adalah salah seorang tokoh ulama Fiqh-nya Madzhab Syafi'i, pengarang kitab Majmu' Syarief Syarah Muhadzab. Beliau meninggal pada 24 Rajab 676 H dan meninggalkan banyak sekali karya ilmiah, lebih dari empat puluh kitab di antaranya dalam bidang hadits ada yang berjudul Arba’in, Riyadhush Shalihin, al Minhaj Syarah Shahih Muslim, at Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan al Basyirin Nadzir, dalam bidang fiqih ada yang berjudul Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, al Majmu’, dalam bidang bahasa ada yang berjudul Tahdzibul Asma’ wal Lughat dan dalam bidang akhlak ada yang berjudul at Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, al Adzkar.
Ada lagi, Syeikh Kholil, pelopor ilmu 'Arud juga mempunyai seorang santri. Namanya Imam Syibawaih. Diceritakan ketika Imam Syibawaih nyantri di pesantrennya Syeikh Kholil, semua keilmuan yang dimiliki gurunya tersebut diserap habis. Akhirnya Imam Syibawaih pulang ke kampung halamannya untuk menyebarluaskan keilmuan yang telah dimilikinya yang diperolehnya bertahun-tahun.
Sepulang santrinya, Syeikh Kholil berkelana. Gurun tandus dilalui. Gunung menjulang tinggi tak luput turut didaki. Lautan samudra pun diseberangi. Konon ketika beliau sedang berada di tengah lautan, beliau mendapat ilham dari Allah SWT. Mendapatkan ilmu mukasyafah langsung dari Allah SWT. Dari hasil mukasyafah tersebutlah, beliau menulis sebuah pengetahuan ilmu 'Arudl, suatu bidang ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang syair-syair arab. Bahkan untuk mengenang sejarang keilmuan tersebut, wazan7 dari syair-syair arab disebut dengan bahar yang artinya lautan. Mendengar gurunya mendapatkan ilmu lagi, Imam Syibawaih yang sudah mengasuh pesantren nyantri lagi kepada Syeikh Kholil bersama dengan murid-muridnya.
Itulah sepenggal cerita tentang ulama-ulama jaman dulu, meski mereka sudah pintar tapi mereka tidak sungkan untuk mengaji, mengaji dan mengaji lagi. Bahkan bareng-bareng dengan santrinya sendiri sekalipun.
Itulah yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dahulu nabi pernah meminta tolong kepada salah seorang sahabat beliau untuk membacakan Al-Qur’an untuk beliau dengar. Sahabat tersebut menolak seraya berkata, “Duhai nabi … telah diturunkan Al-Qur’an kepada panjenengan langsung oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. Kenapa panjenengan meminta saya untuk membacakannya?”.
Nabi menjawab, “Adakalanya aku ingin mendengar dari orang lain membacakan Al-Qur’an untukku.”
Rumah romo kyai sederhana saja. Meski bangunan pondok dan masjid komplek pondoknya sudah tergolong mewah, tapi beliau tetap bertahan di rumah yang tak pernah direhab sejak 25 tahun yang lalu. Bukan nggak punya uang untuk merubah penampilan rumahnya, tapi kata beliau laisal ghina katsrotal mâl, bal al ghinâ ghinan nafsi, … bukanlah seorang dikatakan kaya yang memiliki banyak harta, tapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan di dalam hati. Buat apa punya harta yang berlimpah tapi tak memiliki ketenangan hati. Contohnya sekarang saja, banyak pejabat yang hidupnya bergelimang harta tapi tidurnya tidak nyenyak karena takut ada penyelidikan dari KPK akan harta kekayaannya.
Kwakakak …
Ucapan beliau memanglah bukan ucapan sembarangan. Terbukti istri dan putra-putri beliau-baik yang kuliah atau nyantri, tidak pernah menuntut macam-macam. Padahal kuliah atau nyantri-nya nggak tanggung-tanggung.
Putra pertamanya, gus8 Athur, seorang dokter yang menempuh study S1 dan S2-nya di Fakultas Kedokteran UGM. Putra keduanya, gus Fatih, nyantri di Ma'had el-Maliky, Jeddah. Yang ketiga, ning9 Oya, seorang gadis seangkatanku yang baru lulus kemarin dan melanjutkan kuliahnya di Jurusan Hukum Sebuah Universitas Negeri di Purwokerto, Unsoed. Putra bontot10nya, gus Diddin, baru Raufhatul Athfal (RA) setingkat TK.
Romo kyai memang nggak pernah merasa rugi untuk masalah pendidikan. Berapapun biayanya, pasti akan dikeluarkan demi keberhasilan putra-putrinya. Dan merekapun nggak pernah neko-neko masalah penampilan. Bahkan terkesan apa adanya. Tapi yang paling utama bagi mereka adalah doa dan restu abahnya untuk dapat mendapatkan ilmu yang manfaat fiddien wad dunyâ wal âkhiroh.
Aku kenal beliau melalui washilah11 pak De'ku yang mengasuh pesantren di Bandung. Kata pak De', dia punya teman-dulu di masa khidmahnya nyantri di Ma'had el Maliky Makkah berasal dari Purbalingga. Orangnya tekun, ulet dan alim. Maka dengan segenap tenaga dan uang saku seadanya, aku mencari seorang kyai yang bernama Ubaid el Zaky itu. Hal inipun atas anjuran pak De’ yang mengatakan lebih baik aku mondok di pesantrennya. Anjurannya pun aku iyakan begitu saja. Padahal bisa saja aku mondok di pesantren pak De’. Namun aku berpikir, kalau aku mondok di pesantren pak De’ aku masih sekepenake dewe’.
Seperti kebanyakan remaja pada umumnya. Aku pun mempunyai banyak teman, baik cowo atau cewe. Koq begitu, sih? Biasanya kan santri membatasi masalah pergaulan dengan akhwat?
Bagiku sebagai seorang santri khususnya, nggak masalah-lah mau berteman dengan siapa saja, yang penting kudu punya keris (sengkering garis12) atau rambu-rambu. Terlebih kalau masalah bergaul dengan lawan jenis. Kita punya yang namanya larangan-larangan. Seperti berdekatan dalam tanda petik bersentuhan, menyepi berdua lawan jenis karena yang ketiga adalah syaithon la'natullâhi 'alaihi dan masih banyak lagi yang lain. Kalau semua larangan itu kita lakukan, otomatis keris yang kita punya, akan membunuh kita dari jalan kebenaran.
(Bahasanya udah kelas ustadz, kan ? he … he … he …)
Apalagi untuk berteman dengan sesama jenis. Meski Syeikh az Zarnujy pengarang kitab Ta'limul Muta'allim yang disyarah13i oleh Syeikh Muhammad bin Ibrohim menerangkan, seorang pelajar kudu bisa memilih seorang untuk dijadikan sahabat. Kriteria sahabat bagi seorang pelajar adalah seorang yang memiliki ciri-ciri bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, waro', mempunyai watak yang lurus, cerdas dan seorang yang mudah paham. Dan teman yang harus dijauhi oleh seorang pelajar adalah pemalas, penyia-nyia waktu, cerewet, perusak dan tukang fitnah.
Sekali lagi untuk bersahabat bagiku, kudu punya keris. Kita kudu punya sikap, prinsip dan kekuatan untuk tidak mudah terpengaruh. Berteman dengan siapa saja, oke! Tapi jangan sampai sikap dan prinsip kita goyah. Sebab, ada sair dalam bahasa arab yang mengatakan … 'anil mar'i lâ tas'al wa abshir qorînahu, fa innal qorîna bil muqorrôni yaqtadi, … janganlah kau bertanya tentang seseorang-bagaimanakah dia? Cukup kau tahu, oh … itu to temannya. Karena siapapun dia, mesti berwatak seperti temannya.
Mulai dari tukang ojek di perempatan Bobotsari sampai kernet bis jurusan Pemalang-Purwokerto semuanya hampir mengenaliku. Terlebih mas Dawa pemilik Sambas@Net, tempat nongkrongku ba’da Jum’atan, aku sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Pertama kali mas Dawa mengenalku pas dia lagi kesulitan mencari teknisi computer untuk benerin 2 komputer miliknya yang lagi ngadat. Langsung deh aku nawarin bantuan dan mas Dawa mengijinkannya dengan “eh,… sapa jere dadi!14”.
Banyak orang kaget mas Dawa mengatakan hal seperti itu. Mas Dawa terkenal orang yang nggak gampang percaya dengan kemampuan orang lain kalau dia tak melihatnya sendiri.
“Loh koq sampai dilepasin semua kabel hardisknya, Pang?” Tanya mas Dawa kebingungan melihatku melakukan teknikku. Pasti dia khawatir komputernya akan jadi tambah rusak.
“Maaf mas, aku teknisi kanibal-an bukan teknisi kursusan. Kebetulan aku nemu di bawah ranjang ada kabel slendang15 nganggur jadi aku coba memakai kabel ini kelihatannya masih bagus.” Kataku memberikan alasan.
“O … itu kabel milik pak lik. Kemarin sengaja dilepas katanya mau diganti saja dengan yang baru. Aku nggak tahu kabel itu masih bener atau nggak. Tapi sebentar, kamu tadi ngomong kabel slendang? Itu namanya kabel data kan, Pang?”
“Iya, mas … aku juga ngerti koq. Kabel slendang sama juga dengan kabel data, bedanya hanya kabel data dipakai orang kantoran, ne’ kabel slendang dipakai oleh orang bengkelan, mas. Waduh, aku pikir kabel baru. Tapi nggak apa-apa, sapa jere dadi ya mas?” Sengaja aku tiru ucapan mas Dawa tadi ketika menerima tawaranku. Mendengar aku menirukan logatnya mas Dawa hanya tersenyum.
“Setupnya nggak bisa nemu hardisk dan CD room-nya, mas. Bisa kemungkinan kabel slendangnya atau bahkan bisa kemungkinan hardisk atau CD room-nya yang rusak. Atau kemungkian yang fatal adalah motherboardnya, mas. Atau lebih paling fatal lagi semuanya rusak!” Aku mencoba menjelaskan permasalahan komputer yang lagi aku hadapi. Tentu saja penjelasanku itu membuat mas Dawa khawatir, bakalan keluar biaya banyak nich!.
“Tenang saja mas. Aku prediksikan hanya kabel hardisknya tok koq yang harus diganti.”
“Yach mudah-mudahan, Pang!”
Selama 3600 detik non stop hanya berselang shalat dan ngemie ayam aku bergelut dengan peluh dan keringat di kamar pribadinya mas Dawa yang berukuran 4 x 4 meter di sebelah ruang warnetnya.
Dan ternyata yang aku prediksikan benar sudah terbukti.
“Alhamdulillah, bener kan mas! Berarti kabel milik pak lik-nya mas Dawa masih benar. Tapi untuk jaga-jaga lebih baik dibelikan yang masih baru saja mas. Yang warna kuning saja sekalian. Lebih awet dan kuat serta tahan lama.”
“Harganya …?”
“Hanya lima ribu rupiah koq mas! … Oya mas, belinya di MedComp saja. Seratus meter ke utara pertigaan kedua dari Unsoed. Pelayannya cantik, ramah dan … memuaskan! Siapa tahu jodoh, mas!” Ledekku pada mas Dawa yang terkenal juga dengan bujang tuanya.
Dengan umur 35 tahun tapi belum dapat jodoh. Calon saja belum punya. Padahal dari body sudah ok, hidupnya kecukupan, tampang cakep (tapi lebih cakepan aku lah!). Tapi sayang, sifatnya yang pemalu yang bikin sebagian anak gadis sekarang berpendapat bujang kolot. Tapi untuk urusan bisnis, jangan ditanya kemampuannya. Dia sudah membuka warnet sekalian rental plus fotocopy-an dengan modal pinjaman yang diperolehnya dari kakak semata wayangnya yang bekerja sebagai arsitek di Semarang.
“Alhamdulillah tinggal seperempat pinjaman yang belum aku balikin, Pang. Doain aku bisa balikin semuanya dalam dua bulan ini ya, Pang!” Katanya sewaktu menceritakan kisah hidupnya.
Amin Ya Robbal ‘alamin…
Karena kejadian itulah, setiap mas Dawa ada kesulitan tentang computer langsung deh tanya ke aku. Mudah-mudahan persaudaraan kita bisa menjadi persaudaraan dunia akherat. Amin …
Itu prinsip setelah aku nelungsumi16 menjadi seorang santri. Kata orang, lain hulu lain belalang, lain dulu lain sekarang. Dulu persahabatanku memang pilah-pilih. Tapi bukan seperti yang dikatakan Syeikh az Zarnujy.
Pilihanku adalah seorang yang bisa kuperalat dan kumanfaatkan. Anak orang kaya, aku pilih jadi sahabatku. Sebab, boleh dikatakan aku adalah anak orang yang berada. Bahkan serba kecukupan lah.
Bapakku seorang direktur utama pada perusahaan keluarga di bidang pertekstilan. Beliau nggak pernah ada di rumah. Tiap harinya ada saja yang beliau lakukan. Selalu bisnis dan bisnis-lah yang ada dalam kamus kehidupannya. Paling-paling akhir pekan bapak baru bisa kumpul bareng keluarga. Sama seperti ibuku. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih sibuk dari pada ibu. Pulang kerja jam 00 tengah malam dan aku sudah tidur. Berangkat kerja jam lima seperempat pagi waktu aku belum bangun. Ibu mendapat tugas dari bapak untuk mengelola cabang perusahaannya di Wonosobo.
"Biar lebih dekat dengan rumah!" kata beliau. Biarlah bapak yang kudu bolak-balik ke kantor pusatnya di Jakarta dan berkeliling mengontrol cabang-cabang perusahaannya yang tersebar di beberapa kota besar di Jawa.
Tapi nyatanya sama saja, dekat dengan rumah atau tidak sama seperti nggak ada artinya. Setiap hari tak pernah aku melihat mereka. Hanya akhir pekan pertemuanku dengan mereka berdua. Dengan keadaan keluargaku yang serba kecukupan itulah, aku bisa berbuat semau gue. Gengsi dong, punya teman yang melarat!
(Ups sorry … sekali lagi, itu dulu!).
Tentang masalah cewe. Aku terkenal dengan gelar The Jegger of Love atau pendekar cinta. Dengan modal tampang yang oke punya, agak ke-indo-an (dudu mendoan!17), tajir … Siapa sih gadis cantik yang nggak klepek-klepek menerima tembakan cinta Sang Pendekar Cinta, Naufal Itmami?
Untuk cewe yang nggak cantik? Janganlah kalian seperti Emprit abuntut bedug18. Alias, "Tahu diri dong!"
"Ngaca dulu dong … Ngaca …!" (Sorry … sekali lagi, itu dulu!)
But, now … aku lebih banyak menundukkan mata ketika ngomong bareng sama cewe, juga lebih banyak berperan sebagai pendengar setia. Paling-paling nanggapi seadanya. Bukankah kaum hawa lebih senang kalau ucapannya nggak pernah kepotong?
Perubahan ini membuat kagum banyak orang yang mengenalku. Naila misalnya. Salah satu mantanku yang paling benar. Sebab ia menerimaku apa adanya. Bukan karena aku tajir atau karena aku ganteng. Karena aku butuh perhatian khusus, alasannya menerimaku. Tapi bukan Naufal kalau harus tunduk pada wanita. Dan akhirnya kitapun hanya bisa bertahan sekitar dua minggu.
Pernah suatu ketika kita bertemu di sebuah toko buku di Purwokerto. Ia sendiri melanjutkan kuliah di UMP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Semula ia nggak pernah nyangka kalau seorang yang memakai baju koko dan songkok putih itu aku. Sempat ia melirik berkali-kali. Penasaran mungkin. Aku sendiri paham betul kepadanya. Disamping body-nya yang imut dan mukanya yang baby face dan menggemaskan, satu ciri khasnya masih tetap nempel lengket kayak permen karet. Rambut kuncir kuda ala Jinny.
Naila kelihatan kaget ketika aku menyapanya.
"Ini benar-benar surprise, Pang. Anak mbadungnya nggak ketulungan kayak kamu bisa masuk pondok pesantren meski orangtuamu sendiri kurang menyutujuinya. Bener-bener gila kamu, ya!" katanya cengengesan ketika kuceritakan kisahku merubah diri.
"Tapi ada untungnya juga loh kamu nyantri, Pang."
"Kamu jadi kelihatan tambah ganteng dan kalem. Jadi aku bisa ngeledek kamu sepuas-puasnya tanpa takut kamu marah-marah lagi." tambahnya diiringi tawa lebar.
Dan aku pun meneng bae sinambi19 tersenyum kecut. Sialan …
Itulah sengkering garis-ku.
Mungkin gara-gara prinsip baru-ku inilah aku mendapat gelar baru dari romo kyai, S. Ag alias Santri Gaul!
By the way … tentang gelar. Aku kadang senyum-senyum sendiri terhadap romo kyai Ada-ada saja beliau memberi gelar kepada salah seorang santrinya.
Makky, teman sekombongku sekaligus keponakan romo kyai sendiri mendapat julukan santri mislituka. Aku pikir mislituka artinya aku seperti kamu. Ternyata pikiranku salah. Mislituka artinya Kemis bali setu teka, kebiasaan Makky yang sering pulang ke rumah hari kamis dan berangkat lagi ke pesantren hari sabtu.
Bener-bener aneh …!
Lain dengan kang Salim, seniorku yang paling kelihatan kalem, alias diakali gelem20. Soalé kebiasaan buruknya yang mampu tidur lebih dari 15 jam ini paling sering dikerjani oleh pengurus. Ba'da isya sering kang Salim nggak kelihatan. Nggak usah ditanya lagi, di mana kang Salim? Buka saja kamarnya dan kalau menemukan seorang yang lagi mbengkuk21 di depan lemari terbungkus sarung samarindanya, sudah dapat dipastikan dialah kang Salim.
Kalau sudah nemu kang Salim lagi tidur, tinggal nunggu pengurus melakukan aksinya.
"Lim, ditimbali22 …!" ucap seorang pengurus sembari nyengir tersembunyi.
Kang Salim bangkit tanpa komando dan langsung berlari menuju kantor pengasuh. Kami yang melihat ulahnya hanya mampu tertawa ngakak. Mungkin kang Salim mengira ditimbali romo kyai. Sebab sudah menjadi adat kalau ada kata ditimbali, pasti lagi dicari romo kyai.
Tawa kami belum berhenti sampai kang Salim kembali ke kombong23 dengan bersungut-sungut dan kembali melanjutkan aktifitasnya, tidur.
"Sialan …!" batinnya.
Dia mendapat julukan Abu Naum, bapaknya tidur.
Benar-benar suatu keunikan tersendiri bagi hidupku di pesantren …!

S E T U N G G A L24

Orang lain mungkin ada untuk membantu kita, …
Menolong kita, …
Membimbing kita, …
Melangkah di jalan kita
Tapi pelajaran yang dipelajari,
Selalu milik kita

Sepi, sunyi malam diiringi deras gerimis mengguyur kawasan pegunungan Tlagayasa sejak sore hari. Waktu yang menunjukan pukul 22.45 WIB menambah malam yang dingin menjadi kelam. Biasanya pada jam-jam begini masih banyak santri yang masih melek. Entah sekadar tikroran25, nderes26 Al-Qur'an, shalawatan atau pun sekedar ndopok ngalor-ngidul27. Tapi malam sedingin ini memaksa mereka untuk menggauli malam lebih awal. Mendekap sunyi di bawah pelukan lampu bohlam yang remang-remang.
Tak terasa, aku sudah setengah tahun di pondok pesantren Pring Petuk Tlagayasa, Purbalingga. Aku, yang kebagian piket malam ini terpaksa harus menahan kantuk yang mulai menyerang. Biasanya aku ditemani Makky, tapi malam ini harus pulang.
"Ada kepentingan keluarga." katanya.
Yach, meski Makky nggak ada, yang penting aku masih punya teman setia yang selalu menemaniku di kala kesepian, rokok 76 dan segelas kopi. Sambil duduk-duduk di depan asrama putra, aku mencoba untuk menikmati teman setiaku itu.
"Ah … nikmatnya!" desahku lirih.
Ngomong-ngomong masalah kopi dan rokok, aku bingung kenapa aku bisa lebih menemukan kenikmatan yang sebenarnya ketimbang dengan kopi galak alias minuman keras yang dulu sering aku tenggak. Kata romo kyai ada bahasan menarik mengenai kopi dan rokok dalam sebuah kitab yang khusus membahas keduanya. Kitab karangan Syeikh Ihsan yang berjudul Irsyâd al Ikhwan Fi Syurbi al Qohwati wa ad Dukhon, sebuah kitab yang khusus membahas tentang minum kopi dan merokok ditinjau dari segi hukum Islam. Mengenai hukumnya yang masih menjadi khilaf atau perbedaan bagi para ulama. Juga berisi tentang kandungan zat-zat apa saja yang ada di dalam kopi dan rokok tersebut.
Nama lengkapnya adalah Ihsan Muhammad Dahlan al Jampesi al Kediri, lahir di Desa Putih Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri Jawa Timur pada tahun 1901. Nama kecilnya adalah Bakri. Konon, dulu pada masa remajanya beliau sangat menggemari seni budaya sastra Jawa. Beliau sangat senang menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Di manapun ada pertunjukan wayang kulit digelar di situ pula beliau berada. Jadi tidak mengherankan kalau beliau lihai memainkan kesenian wayang kulit. Pernah ada cerita suatu ketika saat pertunjukan wayang kulit masih berlangsung beliau menyela pertunjukan dan menyalahkan lakon yang dibawakan oleh sang Dalang yang mengakibatkan sang Dalang marah besar. Dengan muka merah padam sang Dalang menantang debat bakri tentang pakem pewayangan28. Tantangan itu dilayani olehnya tapi dengan satu syarat harus ada jurinya. Akhirnya keduanya berangkat menghadap dalang yang dianggap paling tua di kota Kediri. Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya dalang sepuh itu memutuskan yang benar adalah pakem yang disampaikan bakri.
Semangat belajar beliau sangat tinggi sekali. Setiap tengah malam beliau istiqomah ngaji sorogan kepada abahnya yang bernama Syeikh Dahlan. Kitab Alfiah Ibnu Malik diselesaikannya dalam jangka waktu dua bulan di Pesantren Bangkalan Madura di bawah asuhan Syeikh Kholil. Kajian ilmu Falak tidak lebih dari satu bulan di Pesantren Jamrasen Salatiga. Di pesantren manapun yang beliau singgahi meski hanya beberapa hari namun beliau selalu membawa hasil yang tidak mengecewakan.
Beliau, Syeikh Ihsan memang hebat. Suatu ketika Syeikh Ihsan pernah diminta oleh raja Farouk Mesir untuk bersedia mengajar di Unifersitas al Azhar Kairo, namun kezuhduljaah29an yang dimiliki, beliau menolaknya.
Salah satu karangannya yang menjadi pegangan wajib bagi pelajar dan mahasiswa di Unifersitas al Azhar Kairo adalah kitab yang berjudul Siraj al Tholibien syarah Minhaj al Thalibin karya Imam al Ghazali yang berisi kupasan tuntas seputar tasawuf. Kitab ini ditulis sekitar tahun 1930. Dan berhasil di selesaikan dalam waktu yang relatif sangat singkat yaitu sekitar delapan bulan serta dalam ketebalan yang mengagumkan, lebih dari seribu halaman.
Bravo …!
Koq tahu banyak? Apa sudah punya kitabnya?
Belum. Sebab setahuku kitab Irsyâd al Ikhwan Fi Syurbi al Qohwati wa ad Dukhon ini sendiri pada tahun 2002 belum diterbitkan. Tahun 2004 romo kyai baru memilikinya. Setahuku juga kitab ini terbit secara terbatas. Kata romo kyai juga, beliau mendapatkannya pun dari santri pondok pesantren Al Ihsan, pesantren yang didirikan oleh Syeikh Dahlan. Ada lagi kitab karangan beliau yang juga belum diterbitkan. Seperti kitab tasawuf yang berjudul Manahij al Imdad syarah kitab Irsyadul al Ibad karya Syeikh Zainuddin al Mulaibari. Kitab ini terdiri dari dua jilid besar lebih dari seribu halaman. Pernah akan diterbitkan dan terlebih dahulu ditashehkan kepada Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani, baru mendapatkan satu jilid beliau Syeikh Yasin meninggal dunia. Setelah itu nampaknya sulit menemukan ulama yang sekaliber Syeikh Yasin. Entah sekarang sudah diterbitkan apa belum.
Tapi sayang. Aku belum punya kitab-kitab karangan beliau itu dan belum pula tahu isinya. Koq bisa cerita panjang lebar gitu toh?
Aku tahu semua cerita tentang Syeikh Ihsan dari romo kyai dan dari sebuah majalah yang pernah meliput pondok pesantren al Ihsan.
Boro-boro tahu isinya kitab, wong tahu tatanan bahasa 'araby saja baru kemarin koq. Untungnya aku sudah punya modal tahu huruf 'araby. So, nggak terlalu pakai kata lama untuk bisa membacanya. Cuma untuk menerapkan syakal30-nya yang kadang aku ngerasa koq njlimet31 banget ya? Tapi terus terang kenikmatan seperti inilah yang aku idamkan. Mungkin karena muncul dari lubuk hati terdalam, ya?
Lain, waktu aku menemukan kenikmatan lewat kopi galak yang hanya kutemukan kepuasan semu semata. Mencari pelampiasan untuk menumpahkan kebuntuan pikiran. Wahâsiluhu, semakin aku menikmatinya semakin aku kurang puas juga rasanya. Bosan dengan seabrek minuman keras, aku mulai beralih pada obat-obatan, ganja, shabu-shabu bahkan morfin. Kalau boleh dibilang sudah pernah aku coba semua jenis obatan terlarang demi mencari sebuah arti kenikmatan dan kepuasan. Janji-janji ketenangan yang pernah aku dengar ternyata hanya ndlepus, omong kosong. Dengan keadaan keluargaku yang berlebih, nggak sulit bagiku untuk mengkonsumsi semua yang aku inginkan. Kalau dihitung-hitung, andaikan aku nggak mengkonsumsi semua itu sekarang aku sudah mampu untuk membeli sebuah kia carnival metalik dengan uang yang aku miliki sendiri. Gila kan? Dana itu aku dapatkan bukan hanya dari uang bulananku. Untuk memenuhi rasa puas itu aku rela untuk membobol ludes tabunganku. Bermain judi. Bahkan ketika dompetku tipis aku pun rela untuk mencuri uang di brangkas Toserba milik Pak lik-ku.
Kalau boleh bilang, semua jenis perilaku menyimpang (deviance behaviour) yang terkumpul dalam molimo-main/berjudi, maling/ mencuri, madat/narkoba, dan mendem/mabuk pernah aku coba semua. Eh, ketinggalan satu. Madon/berzina. Tapi untuk yang satu ini, aku belum pernah nyicipi. Jangan sampai, deh. Meskipun aku mendapat julukan Pendekar Cinta, jangan salah tanggap kalau pacaranku sekotor pacarannya anak jaman sekarang. Mencium pun aku tak pernah sama sekali tapi sama seribu kali. (Hehehe … becanda … aku pikir nggak perlu pakai sumpah-sumpah segala lah untuk pengakuanku ini. Percaya syukur. Nggak percaya juga nggak apa-apa! Bukan syarat iman inih!)
So, boleh dibilang, julukan itu diberikan karena keampuhan rayuan dan teoriku dalam menaklukan perasaan seorang gadis. Jijik rasanya kalau ganti pasangan sampai meniduri segala.
Meskipun begitu, keluargaku tak pernah tahu keadaanku yang sebenarnya di luar rumah. Yang mereka tahu Naufal Itmami adalah anak yang yang kalem, penuh senyum dan patuh menuruti semua perintah. Padahal itu semua hanya sebagai kedok supaya mereka nggak usah sekalian ikut campur urusan pribadiku. Pinjam syair-nya Bang Iwan Fals, " … masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri!"
Tapi jauh di lubuk hatiku. Aku masih sangat mengharapkannya. Terkadang juga kedok yang aku lakukan pun diiringi rasa sedih mendalam dan penuh keikhlasan. Meski itu hanya sekali dua kali. Khotho' yahtamilǔna 'alash showab-lah, kejahatan tapi ada satu titik kebenaran di dalamnya. Semua itu aku sadari karena aku kekurangan perhatian dan rasa kasih sayang dari orangtua. Aku iri kepada anak yang tiap hari bisa bertemu kedua orangtuanya. Tiap hari ditanya bagaimana pelajaranmu di sekolah? Bagaimana kabar teman-temanmu? Bagaimana ulangannya? Apa kamu sudah punya pacar?
Terlalu kekanak-kanakan sebenarnya. Masa aku harus kayak anak kecil lagi. Tapi terserah orang mau bilang apa! Masa kecil kurang bahagia? Bolehlah dibilang kayak gitu. Meski seabrek fasilitas kemewahan selalu tersedia, tapi fasilitas kasih sayang hatilah yang aku dambakan.
Sampai ujungnya, … saat kurasakan suatu yang luar biasa. Suatu perasaaan aneh yang aku tak tahu bersumber dari mana.
Kularikan kawasaki ninja-ku dalam keadaan sadar tanpa pengaruh obat-obatan atau minuman keras. Meskipun teman se-gank mengajak pesta ganja bareng merayakan kelulusan ujian nasional SMU-ku, aku menolak. Nggak seperti biasanya. “Aku kepingin melakukan hal yang belum aku pernah lakukan di jalanan. Sendiri.” Batinku berucap.
Full gas, tanpa peduli orang bergumam, "Dasar bocah edan. Ujarmu gili iki duwe’e mbahmu32!" Serasa terbang di atas awan waktu itu. Tanpa mengurangi kecepatan di bawah 86 km/jam, kulewati beberapa pengkolan-pengkolan tajam. Menantang maut. Tapi aku nggak ingin mengurangi kenikmatan ini. Satu belokan terlewati dengan aman, meski adegan maut ini kudu membuat pengendara lain bergidik minggir.
"Hai … Penakut!" teriakku sombong menembus tebal helm ber-style sporty-ku.
Belokan kedua, di sebuah pertigaan yang semakin menantang. Dengan derajat mendekati 45-an, membuatku semakin tertarik untuk unjuk kebolehan. Rasa sombong semakin memuncak, …
Tiba-tiba …
"Astaghfirullah …!" Batinku menjerit melihat seorang anak berseragam putih ijig-ijig33 menyebrang jalan tergesa. Aneh biasanya bukan kata-kata ini yang keluar. Spontan, kutarik rem dalam keadaan panik hingga membuat laju motor kesayangan-ku oleng, tak terkendali.
Ciit … ciit … ciit …
Brak …
Bocah itu tersungkur di tepi.
Aku terpental jauh ke luar jalanan. Terasa seperti remuk tulang ini ketika tubuhku mendarat di tanah abang di pinggiran. Pandangan mata berubah menjadi merah dengan bau anyir menyengat menusuk hidung. Aku tak sadarkan diri.

***



Aku mencoba untuk berdiri.
Aneh, aku bisa berdiri! Padahal helm sporty-ku rusak parah. Pecah. Baju dan celana banyak yang robek akibat mencengkeram aspal. Benar-benar aneh, gumamku. Aku pun segera mendekati bocah itu.
Kucoba untuk menanyainya.
"Hei … adik nggak apa-apa?" Heran, aku bisa sesopan ini? Padahal jelas-jelas dia yang salah. Seharusnya aku marah. Tapi, … dia anak kecil.
Dengan serta merta, kuambil buku tebal-yang ku ingat setelah nyantri, namanya Al-Qur'an.
"Nggak apa-apa koq, kak. Hanya lecet-lecet sedikit. Maaf, tadi menyebrang jalan nggak hati-hati." Polos.
Masih saja aku nggak bisa memarahinya.
"Ya sudah, … lain kali kalau mau menyebrang hati-hati ya?" Pesanku. Aku masih bingung terhadap kesopananku. Terlebih ketika aku meninggalkan bocah itu begitu saja. Pikiranku, kalau aku menungguinya di tepi jalan sama juga menunggu maut. Pasti hukuman massa akan kuterima. Terlebih ketika aku melihat dua orang berperawakan tinggi, berjaket kulit dan berkacamata hitam ada dibelakang bocah sialan itu. Aku takut kalau mereka petugas kepolisian yang lagi mencari makan siang atau lagi free tugas. Ah, lebih baik kabur saja. Toh, bocah itu juga nggak apa-apa koq.
Tega, …! Memang …
Kalau boleh aku berterus terang, ketika memberikan Al Qur'an yang dibawa bocah itu, aku menemukan apa yang selama ini kucari. Tapi, aku terlalu kotor untuk mengakuinya. Aku terlalu naif untuk mengaku bahwa aku membutuhkannya.
"Kupret … " Aku mengumpat diri sendiri.
"Aku kudu mengikuti bocah itu!" Pikirku. Biarlah kurasakan itu lebih lama lagi.
"Sialan, kemana sih bocah sialan itu?" Aku kehilangan jejaknya seperti kehilangan nyawa. Kesempatan untuk menikmati ketenangan ketika melihat kepolosan membawa Al Qur'annya, hilang sudah.
"Oh, Tuhan … kalaulah kau masih memberiku kesempatan untuk menemukan jalan-Mu kembali, tolong perlihatkan petunjuk-Mu!" Sekonyong-konyong kalimat itu melintas begitu saja di dalam lubuk. Inikah tanda aku temukan kembali suara hati?
Ah, akhirnya, … Bocah itu kembali kelihatan. Masih dari jauh aku mengamati gerak-geriknya. Melangkah sambil ndangdut-an. Mungkin kakinya lecet sewaktu kesrempet tadi. Kasihan … Tapi, aku tak berani untuk mendekatinya. Rasa malu masih menguasaiku. Kuikuti terus langkah kakinya. Sengaja kumatikan mesin motorku, biar aku lebih leluasa mengintainya.
"Apa!!!" Aku kaget bukan main, kala melihat bocah itu berjalan menuju arena sebuah masjid. Sebuah tempat yang sempat membuatku phobia. Sejenak kulihat banyak anak-anak sebaya dengan bocah kupret itu mendekatinya. Menuntun, merangkulnya …
Sejenak tubuhku lunglai dan basah oleh keringat dingin. Merasa trenyuh34 melihat adegan itu. Sungguh-sungguh bukan skenario buatan untuk mengambil simpati. Tapi benar-benar tumbuh dari dalam hati.
Aku malu … Aku malu … pada diri sendiri …
Terdengar gemuruh suara bocah-bocah cilik mencoba melafadzkan huruf-huruf 'aroby. Sejenak, sebutiran air mata menetes di pipiku. Aku teringat masa kecilku, sewaktu liburan di rumah mbah kakung. Aku ikut ngaji kepada mbah kakung bareng anak-anak kampung, shalat berjama'ah di mushola mungil yang terletak di depan rumah, latihan membunyikan huruf-huruf 'aroby, melantunkan sholawat nabi yang sering kutonton di TV. Betul-betul sebuah ukiran simphoni damainya kehidupanku, waktu itu. Sayang hanya seminggu aku liburan di rumah kakek.
Dan … Aku nggak mau munafik. Kutemukan kembali kedamaian itu di sini …! Rasa malu kepada Ilahi Robby membuatku untuk meninggalkan bocah itu.
Ku rasa terlalu kotor … kala melihat bocah itu membawa Al Qur'an.
K A L I H35

Satu langkahku berkurang
Sesaat senyumMu terkembang
Tercium semerbak wangi ampunanMu
Dari semua kebohonganku
Yang tercipta lewat cinta

Dy …, siang tadi aku menabrak seorang anak.
Begitu polos aku lihat tatapan wajahnya. Bersih tanpa noda.
Aku tahu kejadian itu salahku. Tapi tak lepas pula dari salahnya.
Aku tahu jalan itu bukan milikku. Tapi tak lantas berarti anak kecil itu bisa berlari seenaknya.
Tatapannya murni penuh kasih sayang. Wajahnya penuh senyuman meskipun kepadaku yang telah menabraknya. Keberaniannya pun bak gunung berapi yang tak kenal belas kasih tatkala memuntahkan laharnya. Tanpa tangis, rihtihan atau raut ketakutan muncul darinya. Aku kagum dan ini menciutkan nyaliku untuk memarahinya.
Aku larut dalam senyumannya. Aku terbius wajah asihnya.
Aku …
Aku …
Aku …
Aku kalah …
Justru aku takut akan kepolosannya. Aku takut, dy!
Tatapan matanya bak mata elang yang siap merobek kebiadabanku … Aku takut, dy!
Sampai akhirnya aku mengambil sebuah buku tebal yang dia bawa yang terlepas dari genggamannya. Aku merasakan getaran aneh yang membius hatiku. Dingin, menyejukkan. Lebih nikmat dari semua yang pernah aku rasa. Lebih manis dari senyuman Lady Diana.
Saat aku kehilangan dia. Aku bak kapal rapuh terombang-ambing ombak di tengah lautan. Aku laksana mawar yang merindukan siraman hujan. Layu. Jantungku berdetak kencang. Nafasku pun tak beraturan. Ingin aku menangis. Tapi aku bingung apa yang aku tangisi.
Andai aku bisa menghentikan waktu, aku ingin masa-masa itu berhenti untuk selamanya.
Wonosobo …
Kuletakkan pensil Hytek berukuran 0,28 mm di atas diary-ku. Aneh ya? Bajingan kayak aku demen nulis? Itulah aku. Diary adalah temanku. Teman terbaikku kala suka duka.
Biasanya aku nulis lebih dari satu lembar dalam sehari. Tapi kali ini, tubuhku menghentikan kebiasaanku. Ah, … rasanya tubuh ini seperti dibebani berjuta-juta kontainer. Pegel … banget!
"Kenapa sendi-sendi tulangku terasa … ah, …!" Pegel, kaku dan terasa nyeri. Kenapa juga rasa nyerinya baru sekarang. Aku yakin ini bukan sakau. Tapi rasanya … lebih berat dari sakau! Pasti ini gara-gara kejadian tadi siang itu.
"Emang bocah sialan!" Meski tubuh lagi pegal nggak karuan, tapi mulutku nggak pernah ada pegalnya untuk misuhi36 bocah itu.
Memang benar kalau ada pendapat bahwa di antara syaraf-syaraf manusia-terutama orang Indonesia, syaraf yang paling aktif adalah di sekitar mulut.
Betul, kan?
Banyak komentator yang menanggapi permainan sepak bola Seri A Liga Italia. Seakan pendapatnya hebat banget gitu. Tapi sayang permainan sepak bola negeri sendiri kurang bisa dibanggakan.
Coba komentator itu diberi tugas untuk ngurusi persepakbolaan kita? Bisa nggak toh menampilkan permainan kayak Filippo Inzagi dkk.
Aja teyenge kur ngomong tok lah, jajal dicakna omonge!37
Banyak juga pengamat ekonomi yang ngomong (lebih halusnya berpendapat kali ya?) "Langkah dia salah. Seharusnya seperti ini."
Nyatanya ketika dia diberi wewenang untuk mengurusi keuangan negara apa yang bisa kita lihat? Terus kita ngomong apa? Giliran ditangkap aparat yang berwajib karena telah menyelewengkan uang Negara, masih bisa berkeliaran seenak wudele dewe'38. Kalaupun hidup di hotel prodeo-pun, fasilitasnya sudah menyamai hotel bintang 4. Tak ketinggalan fasilitas internetnya.
Giliran orang yang lemah yang tak memiliki apapun terdesak melakukan kesalahan, kesalahan yang terpaksanya dilakukan karena ingin bias makan. Dari amukan massa, digendang ke penjara dengan pukulan, tendangan, cacian, akhirnya hakim memutuskan 15 tahun penjara.
Yang seimbang dong dalam penegakan hukum!
Gila …! Bener-bener gila! Hukum macam apa ini …!
Dan parahnya kita hanya bisa ngomong …, orang kalau sudah melihat uang banyak, kebenaran bisa berubah menjadi kebeneran39.
Lah … koq kayak gini?
Benar apa yang dikatakan orang bijak, merupakan tanda kerusakan sebuah bangsa kalau pejabat-pejabat Negara, pemerintahan dan orang-orang yang mulia kebal terhadap hukum. Sedangkan hukum hanya ditegakkan bagi mereka orang-orang yang lemah dan rakyat jelata.
Shodaqo Rusululloh!40
Kenapa? Rosul dulu pernah bersabda, innamâ ahlakal ladzîna min qoblikum annahum kânû idzâ saroqo fîhim asy syarîf tarokûhu waidzâ saroqo fîhim adl dlo'îf aqômû 'alaihil had, … sesungguhnya kerusakan umat manusia sebelum kamu sekalian adalah mereka meninggalkan hukuman bagi golongan orang-orang mulia yang melakukan tindak kesalahan sedangkan bagi kaum lemah yang bersalah, hukum ditegakkan. Seharusnya bukan hanya kaum lemah saja, tapi siapapun yang melakukan kesalahan hukum harus tetap ditegakkan.
Shodaqo Rusululloh!
Shodaqo Rusululloh!
Shodaqo Rusululloh!

Memang mulut kalau sudah dibiasakan ngomong seenaknya sulit untuk dirubah. Padahal salamatul insan fi hifdzil lisan, keselamatan manusia tergantung ia bisa menjaga mulutnya atau tidak. Gara-gara mulut, banyak terjadi kekacauan. Sering aku alami hal ini. Maklum, hidup di jalanan yang selalu penuh dengan kekerasan. Sekali mulut ngomong yang nggak-nggak dan hati nggak bakalan nerima, jangan tanya apa yang bakalan dilakukan. Tinggal pilih tangan kiri rumah sakit atau tangan kanan kuburan.
Sialan …
Aku bingung. Jangan-jangan aku OD, lagi! Mungkinkah Naufal Itmami bakalan senasib sama seperti Marilyn Monroe dan Anna Nicole Smith? Was-was, cemas, dan panik.
Kubaringkan tubuh ini di atas kasur lantai di depan televisi. Tombol power yang terletak di ujung kanan depan remote control pun tak luput dari sentuhan ringan jari telunjukku. Tiba-tiba …
"Di mana aku …?" Tanyaku pada diri sendiri. Bingung. Hanya awan yang siang tadi putih kini kelihatan lebih menghitam. Bulanpun terlihat samar-samar. Sinarnya tak secerah malam purnama biasanya. Kini terhalangi bayang-bayang awan.
"Bulan …!" Aku kaget.
Berarti aku lagi di luar rumah. Kucoba membalikkan badan yang tadinya terlentang lurus. Meski masih terasa nyeri, tapi jauh lebih ringan tak seperti mulanya. Aku terbelalak kaget untuk yang kedua kalinya.
"Aku terbang …!"
(Percaya …? aku pun tidak …!)
Aku paham betul daerah yang kulewati. Jalan aspal berkelok-kelok yang biasa kulewati tiap hari tak berubah sedikitpun dari aslinya. Aku yakin. Sebab tiap pulang dari bepergian aku selalu melewati jalan ini. Perbukitan kebun teh yang berhektare-hektare kulewati dengan cepatnya. Aku takut. Mau dibawa ke mana nih! pikirku. Nggak aku pungkiri, meski aku paling jago ngebut, tapi untuk kebut-kebutan semacam ini aku tak terbiasa. Bahkan nggak pernah sama sekali. Laju terbangku tak terkendali. Tubuhku terpoyang-paying41kan oleh kekuatan yang entah siapa yang mengendalikannya. Entah dari mana asal muasalnya, muncul berkali-kali bayangan putih berkelebatan mendahuluiku. Aku semakin nggak kuat mengalami kejadian ini. Mata sengaja kupejamkan erat-erat. Untuk mengurangi rasa gelisah dan takut, tujuanku. Tapi sia-sia. Gelisahku tak kunjung reda. Terpaksa hanya rasa pasrah yang aku andalkan.
"Ya Allah … kalau memang ini akhir dari kehidupanku, aku rela … Ya Allah … aku benar-benar takut!" Serta merta kata-kata itu muncul begitu saja.
Tiba-tiba …
Kulihat jelas tubuh yang masih tergeletak tak berdaya di depan TV.
Setengah berlari aku menuju lemari es untuk mengambil air putih. Kutenggak lebih dari tiga gelas sekaligus.
Benar-benar aneh. Mimpikah aku? Sudah dua kali aku mengalami hal serupa kayak gini. Tapi baru pertama kali aku merasakan ketakutan ini. Nggak masuk akal. Aku benar-benar sadar. Belum tidur. Tapi kenapa aku lihat tubuhku sendiri?
Aneh … nggak masuk akal sama sekali. Benar-benar nggak masuk akal.
Dy, … mungkinkah aku akan mati sebentar lagi?

***
"Begitulah ceritanya, In?" Ceritaku kepada Hidayati Indah Putri, seorang gadis lugu yang paling taat beribadah di kelasku yang masih terbengong-bengong mendengarkan cerita anehku.
Sebenarnya aku paling malas untuk mendekatinya. Nama baikku taruhannya!
Naufal, Pendekar Cinta berduaan bareng gadis cupu!
Tapi kepada siapa lagi aku harus curhat masalahku ini? Guru BK (Bimbingan dan Konseling)? Sudah seringkali aku masuk ruangan BK gara-gara bikin ulah. Entah itu usil yang berlebihan atau masalah kekerasan. Mana mungkin Guru BK percaya dengan ceritaku ini. Dikiranya nanti aku malah lagi ngedongengin dia dengan cerita yang kayak di sinetronnya Mak Lampir gitu. Paling-paling dia bakalan ngomong, "Kamu berbakat jadi seorang penulis scenario, Pang. Tapi sangat kurang kreatif untuk mencari pendengar ceritamu itu!"
Teman se-genk? Mereka hanya menjadi tempat sampah untuk mendengarkan cerita ini. Atau mungkin aku malahan akan diketawai karena terlalu banyak nonton TV. Aku yakin itu. Sebab sudah berkali-kali aku curhat kepada mereka. Tapi nyatanya mereka hanya bisa mendengarkan tanpa memberikan solusi terhadap masalahku. Mereka hanya meringankan rasa gundahku sementara. Tapi setelah sepekan, beban itupun terasa berat lagi di pundak. Duka seberat apapun dapat ditanggung bila diceritakan pada orang lain, kata Karen Blixen memang benar.
Tapi sekali lagi aku katakan, itu hanya sementara. Yang kubutuhkan adalah solusi bukan tempat sampah!
Jauh di hatiku, sebenarnya Indah adalah gadis yang manis. Sayang dandanannya yang apa adanya-lah yang menutupi kecantikannya. Rambut yang berkepang dua menjadi ciri khasnya. Kuno banget kan? Matanya selalu tertutupi kaca mata yang entah min berapa. Bawaannya selalu dan selalu buku-buku tebal yang berganti-ganti judul. Entah ganti judul karena sudah selesai membaca atau hanya untuk gaya-gayaan. Tapi aku yakin Indah bukan type gadis yang suka nggaya. Buktinya, untuk masalah penampilan saja apa adanya, apalagi untuk masalah yang lain yang terlihat orang.
Indah masih bengong melihatku aneh. Aku tanggapi wajar dia bertingkah seperti itu. Maklum baru sekali ini aku ngobrol dengannya. Lebih sering aku ngejahilinya.
"Kamu nggak lagi ngerjani aku kan, Pang!" Tanya Indah meyakinkan diri sendiri.
"In … untuk sekali ini aku minta tolong kamu untuk menanggapi serius masalahku! Aku bingung, In! Aku bingung kudu ngapain!" Jelasku memelas.
"Ya sudah, kalaupun kamu bohong … aku juga nggak apa-apa koq. Toh kejujuran ataupun kebohonganmu juga nggak bakalan bikin aku kaya raya!" Sindirnya.
"Kamu marah, In? Kalau selama ini aku ngerjain kamu?"
"Siapa sih yang nggak marah dikerjain orang aneh!" Dengan nada tinggi.
"Oke … aku minta maaf, In! Aku minta maaf atas keusilanku selama ini. But, please … give me solution with my problem, In!" Ucapku memohon.
"Pang … setiap orang hidup itu memang dipenuhi masalah. Kamu kudu bersyukur kalau memang masih ada masalah yang masih menggelayutimu dalam hidup. Tinggal bagaimana orang itu mengatasinya. Apakah dia mampu untuk memberdayakannya untuk berkarya dan segera keluar dari masalah itu atau ia malah menyerah tak kuasa dihadapannya. Intinya, yang paling bisa mengatasi penyakit-penyakit stress wa akhowâtuhâ42 dalam diri kita adalah kita sendiri. Coba deh, kamu tanyakan pada hati nuranimu sendiri, apa sih yang sebenarnya kamu cari?" Jelasnya sambil membenarkan kaca mata yang sedikit melorot.
Aku masih nggak ngerti dengan ucapannya. Aku malah jadi tambah bingung.
"Mengenai masalahmu, aku nggak bisa kasih komentar apapun, Pang. Kenapa? Karena ini menyangkut masalah kehidupanmu. Masalah masa depan. Aku hanya bisa kasih saran, tolong kamu hentikan kebiasaan burukmu itu! Dan lakukan shalat hajat untuk mohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa! Bagaimana …?" Tambahnya.
"Shalat hajat? Apaan tuh!" Tanyaku tambah bingung.
"Kamu nggak tahu?" Tanya Indah keheranan melihatku gedeg-gedeg43.
"Namanya, Naufal Itmami. Keislaman banget kayaknya. Tapi sayang tindakan dan tingkah lakunya berbanding terbalik, kesetanan …!"
Keras, pedih, sakit rasanya hati ini … dihina oleh orang yang aku anggap rendah. Seakan-akan aku sudah tak punya arti lagi. Baru kali ini aku merasakan sakitnya dihina. Padahal sudah berkali-kali menghina orang. Pantesan iblis nggak mau merasakannya.
Pernah suatu ketika iblis ditemui oleh seorang malaikat yang diutus oleh Allah SWT untuk memerintahkan iblis menemui nabi Muhammad SAW. Iblis diharuskan jujur atas apa yang akan ia katakan dan atas apa yang ia jawab dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Nabi SAW. Kalau iblis bohong sekali saja, maka malaikat itu akan membuat iblis bagai debu yang beterbangan dan ia akan ditertawakan oleh manusia yang ia anggap hina. Karena kesombongannya itulah iblis melaksanakan perintah itu.
Rasanya memang sakit … banget!!!
Maafkan aku!
"Shalat hajat tuh shalat yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa butuh kita kepada Allah. Memohon kebaikan yang menurut Allah baik. Bukan kebaikan menurut kita. Tapi menurutku, masalahmu tuh hanya satu solusinya dan yang pasti solusi itu baik menurut Allah juga!"
"Apaan, In …?"
"Perbaiki tingkah laku dan tinggalkan kebiasaan burukmu!"
"Apa itu nggak terlalu berlebihan, In?"
"Itulah jeleknya kamu, Pang! Nggak mau berusaha untuk berubah. Sudah jelas-jelas kebiasanmulah yang membuat hatimu gusar. Tapi kamu nggak ingin berusaha untuk meninggalkannya malah keenakan di dalamnya. Kamu sudah tertipu, Pang!" Jelasnya tambah gamblang.
"Oke … oke … aku akan coba saranmu. Tapi ajari aku dong, In!" Pintaku untuk kedua kalinya.
"Nanti sore sekitar pukul empat kamu bisa kan datang ke rumahku?"
"Ngapain …?" Tanyaku heran.
"Katanya mau belajar shalat hajat …!"
Yap … jawabku lantang.
Dy, … aku bingung kenapa aku bisa dan mau menuruti permintaan Indah.
Tapi kenapa juga aku bisa terasa akrab dengan indah meski Indah adalah gadis yang sering aku lukai perasaannya.
Aku malu …!
Tapi aku harus lakukan semua ini. Demi hidupku … demi ketenangan. Demi semua yang aku harapkan …
Wonosobo …
***
Sore harinya di rumah Indah …
"Damai banget suasananya ya, In?" Ucapku di teras depan yang berhadapan langsung dengan hamparan padi yang lagi menguning. Rumah Indah bersebelahan dengan mushola tempat ngaji bareng teman sekampung kepada bapaknya, ustadz Rahman.
Indah hanya tersenyum singkat. Dengan kerudung putih yang bertengger di kepalanya, Indah tampak semakin cantik. Apalagi kaca mata yang menemaninya di sekolahan itu di lepas. Wah, mirip banget dengan Siti Nurhaliza. Benar-benar beda jauh dengan Indah waktu di sekolah, beda 180˚.
Stop, Pang! Misi kamu ke rumahnya Indah adalah untuk belajar shalat hajat. Bukan untuk mendekati Indah.
"Gimana ngajinya, Pang!" Tanya Indah mengagetkanku.
"Yach meski masih gelandetan44, tapi untuk seorang pemula kayak aku-kata bapakmu, sudah lumayanlah!" Jawabku sekenanya. Aku nggak langsung belajar shalat hajat sebab ketika ustadz Rahman ngetest kemampuanku baca tulis huruf 'araby aku nggak bisa sama sekali. Untungnya, eh … Alhamdulillah … aku pernah mengenal huruf-huruf itu meski harus susah payah mengingatnya kembali tapi masih lumayanlah dibandingkan dengan yang buta sama sekali huruf 'araby. Hehe …
"Eh … ngomong-ngomong kamu mau ngelanjutin kuliah ke mana, Pang?" Tanya Indah mengalihkan pembicaraan.
"Niatnya sih, mau ke UGM. Tapi nggak tahu deh nanti. Nunggu pengumuman SPMB! Kalau kamu mau ke mana?" Tanyaku nyambung pertanyaannya.
"Sebenarnya sih, aku nggak ada niatan ke arah situ, Pang. Aku kepingin bantu-bantu ibu saja di rumah. Kamu lihat sendiri kan keadaan keluargaku. Adik-adikku masih pada sekolah. Tapi bapak keukeuh nganjurin aku untuk ngelanjutin kuliah, Pang. Ditambah lagi dorongan Pak De’ yang katanya siap untuk ngebantu masalah biaya kuliah. Yach … nggak tahu deh nanti. Lihat pengumuman PMDK-nya dulu!" Jelas Indah yang membikin aku kasihan kepadanya.
"Aku bingung loh sama kamu, Pang! Sebenarnya kamu tuh anaknya baik, pinter … tapi sayang sifat dan kebiasaanmu yang semau gue dan sok-mu itu yang paling dominan. Aku tahu koq masalahmu yang sebenarnya. Banyak anak-anak yang ngomongin masalah pribadimu loh, Pang!" Tambahnya.
"Sudahlah, In! Jangan ngomongin masalah itu lagi. Aku muak dengan semua itu. Aku kepingin hidup wajar seperti yang dialami kebanyakan orang!" Jawabku masih dengan semau gue.
"Sudah sore, In! Aku pulang dulu ya. Terima kasih banyak, kamu sudah mau ngebantu aku. Dan terima kasih banyak juga atas kesedianmu menjadi temanku!" Pamitku sembari berjalan ke luar rumah.
"Alah … biasa saja lagi, Pang! Maaf yach … mungkin tadi ucapanku menyinggung perasaanmu!" Sambutnya sembari tersenyum manis pun kusambut dengan anggukan.
"Oh iya, pamitkan sama bapak ibumu ya, In! Sampaiin juga besok aku ke sini lagi. Latihannya kan belum selesai!" Kataku nyengir.
Insya Allah …
T I G O45

Apa arti dari
Imam ghozali pernah berkata,
Al 'uzlatu aula 'inda ifsâdiz zamân
…?

Empat hari setelah pengumuman SPMB menyatakan kelulusanku berhak menjadi calon mahasiswa UGM Jurusan Hubungan Internasional tidak membuatku senang. Malahan menjadi bingung. Terang-terangan jurusan itu bukan pilihanku. Kalau boleh bilang, itu paksaan bapakku yang mengharapkan aku bisa membawa bisnisnya ke pangsa pasar dunia.
Paksaan itu karena kedua kakakku-bang Ical dan mbak Nila, kata bapak telah memilih jurusan yang salah. Bang Ical memilih kedokteran sedangkan mbak Nila memilih teknik sipil. Kedua pekerjaan itu nggak bisa diwariskan ke anak cucu. Pekerjaan yang bapak lakukan inilah yang bisa turun temurun ke anak cucu bahkan bisa mempertahankan hidup sampai ke generasi ke tujuh sekalipun.
Tambah bingung lagi ketika bapak masih terus-terusan bertanya lewat telepon, kamu sudah registrasi, Fal?
"Kamu nggak usah khawatirin masalah kost-kostan di Jogja. Bapak sudah menyuruh bawahan bapak untuk mencarikan rumah kontrakan plus fasilitasnya. Terus masalah yang kamu minta dulu, masih ingatkan? Kamu dulu pernah merasa tertarik untuk memiliki sebuah Cherokee. Nanti pas kamu berangkat ke Jogja kamu sudah bisa memegang kuncinya lengkap dengan SIM dan STNK?"
Memang benar-benar ndunyo bapak ini! pikirku kini.
Apa sih yang bisa dibanggakan dari semua itu kalau anak sendiri terbengkalai, bingung mencari jati diri.
Apa …?
Masih dengan rasa bingung dengan ulah bapak. Aku berjalan menuju kamar mandi. Kata ustadz Rahman, wudlu bisa menghilangkan rasa bimbang. Aku kudu mencobanya. Sudah kuhafal jelas wudlu yang diajarkan ustadz Rahman tiap hari waktu belajar shalat hajat. Karena disamping belajar shalat itu, aku juga belajar banyak hal dari beliau. Berwudlu, membaca Al-Qur'an, dan shalat lima waktu.
Yach, Shalat lima waktu yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Kewajiban …?
Ya Allah … sudah berapa banyak kewajiban yang aku tinggalkan …?
Katanya lagi alasanku diajari shalat lima waktu adalah karena tingkatan ibadah itu ada tiga. farôidl, sunnah dan fadlôil46.
Shalat sunnah sregep47 tapi fardlunya bolong-bolong, sama juga bohong. Apalagi hanya memperhatikan masalah fadlôil dan mengesampingkan masalah fardlu dan sunnah, sesat itu namanya. Yang paling baik adalah fardlu sudah menjadi kebutuhan, sunnah menjadi kebiasaan dan fadlôil menjadi keseharian.
Meski juga aku belum hafal penuh doa-doa shalat, aku nggak peduli. Aku kudu melakukannya. Belajar masih ada waktu dan aku targetkan dua pekan kudu hafal do'a itu. Tapi kewajiban nggak boleh tertinggal, pikirku. Dosaku sudah banyak. Aku nggak mau menumpuknya lagi dengan dosa-dosa yang lain.
Kalian nggak usah bingung. Aku sendiri juga bingung kenapa aku bisa berubah secepat ini.
Selesai melakukan shalat Isya', aku berbaring sejenak di sajadah pemberian Indah. Katanya supaya aku bisa mengingatnya terus setelah selesai shalat dan mendo'akannya.
Tiba-tiba …
Ya Allah … kenapa hal ini terulangi lagi.
Aku kembali mengalami hal serupa seperti seminggu yang lalu. Tepat. Seminggu yang lalu. Kemarin malam jum'at pon. Sekarang malam jum'at kliwon.
Ya Allah … ampuni aku …!
Tetap seperti kemarin, kupejamkan mata. Aku takut. Terasa jelas tubuhku yang terpoyang-payingkan kekuatan yang entah siapa yang mengendalikannya. Sejenak kelopak mataku terbuka. Tampak berpuluhan bayangan putih berkelebat mendahiluiku. Kepejamkan mata lagi, aku semakin takut.
Tiba-tiba aku merasakan adanya sentuhan dingin di ujung jemariku. Merambat pelan memegang telapak tangan. Aku masih belum berani untuk membuka mata.
Aku benar-benar takut …
"Naufal …!"
Samar-samar si empunya sentuhan dingin itu memanggil. Jelas dari sebelah kananku. Aku masih belum berani membuka mata.
Dari mana dia tahu namaku? pikirku sekilas.
"Naufal … cucuku!"
Samar-samar terdengar kembali suara itu. Aku taksir pemilik suara ini adalah seorang kakek-kakek.
Aku jadi semakin takut!
"Naufal …!" Untuk ketiga kalinya si empunya sentuhan dingin itu memanggil namaku.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, kucoba untuk membuka mata.
"Mbah …!48" Aku kaget dan nggak percaya untuk kesekian kalinya. Mbah kakung yang sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu, sekarang … ada di sebelahku.
"Ya, cucuku … ini mbahmu!"
Apa aku sedang bermimpi?
Masih dengan rasa ketidakpercayaanku, aku menangis sedih. Kalaulah memang pertemuanku ini benar adanya, aku malu kepada almarhum mbah kakung. Kupejamkan kembali mataku. Kututup erat-erat mulutku, yang mulai basah akibat tangis yang mulai deras.
Cucumu ini sudah nggak punya hati nurani lagi, mbah. Cucumu yang satu ini sudah jauh meninggalkan Tuhanmu, Tuhan kita. Cucumu yang satu ini sudah terlalu banyak dosa, mbah!
"Astaghfirullâhal'adzîm … ikuti ucapanku, cucuku!" Kata mbah kakung tiba-tiba. Seolah-olah beliau tahu apa yang lagi bathinku sesalkan.
"Astaghfirullâhal'adzîm … "
"Istighfar lagi, cucuku …!" Pesannya.
"Astaghfirullâhal'adzîm … " Tangisku makin menjadi.
"Lagi, cucuku!"
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Sentuhan dingin itu mulai lepas. Aku pegang erat-erat tangan sudah keriput habis oleh umur itu. Tapi sayang, sia-sia.
"Mbah … Naufal kangen sama mbah. Naufal sudah banyak banget dosanya, mbah!" Aku mencoba untuk mengungkapkan rasa gundah ini. Tapi sekali lagi sayang, entah kekuatan apa yang menarikku untuk kembali ke arah semula.
Tanganku mulai lepas dari jari jemari mbah kakung.
"Mbah …!" Akupun menangis sedih.
"Istighfar lagi, cucuku!" Pesannya.
"Mbah …!"
"Istighfar lagi, cucuku!" Pesannya sembari meninggalkan senyum yang akan selalu terukir di hati ini.
"Naufal … Al 'uzlatu aula 'inda ifsâdiz zamân … " Pesannya lagi.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Tiba-tiba aku berputar-putar tanpa kendali. Masih kulafadzkan pesan pertama mbah kakung.
Kulihat bayangan mbah kakung menghilang.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Kulihat jelas tubuh yang masih tergeletak tak berdaya di atas sajadah.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Aku bangkit dari sajadah itu menuju lemari es untuk mengambil seteguk air putih dingin.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Alhamdulillâhirobbil'alamîn …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Kucoba untuk mengingat pesan mbah kakung terahir.
Al 'uz … latu … a … ula 'in … da ifsâ … diz za … mân …, apa artinya?



Dy…, aku ketemu almarhum mbah kakung. Aneh ya?
Aku juga bingung.
Aku kangen sama mbah kakung. Aku rindukan usapan halus tangan keriputnya di rambutku. Aku rindukan bau tubuhnya yang alami. Aku rindukan semuanya dari mbah kakung.
Aku kepingin bareng mbah kakung lagi.
Wonosobo …
* * *
"Artinya … 'uzlah atau menyepi itu lebih utama ketika zaman sudah rusak, Pang! Itu kata Imam Ghozali. Tapi ngomong-ngomong, kamu dapat kata-kata ini dari mana, Pang?" Tanya Indah ketika berada di teras rumahnya.
"Hehehe … eR Ha eS …!" Jawabku nyeleneh, cengengesan.
"Mau main rahasia-rahasiaan nih ceritanya?"
"Nggak lah … Cuma aku nggak ingin cerita dulu sama kamu. Kamu nggak apa-apa kan, In?"
Aku nggak perlu jawaban ya atau tidak. Hanya senyum manisnya lah yang kunanti untuk menjawabnya.
"Boleh aku tanya lagi, In?" Ujarku diiringi anggukannya. "Kalau boleh tahu maksudnya 'uzlah itu apa?"
"Beliau mengatakan seperti itu bukan tidak ada alasannya, Pang! Zaman beliau masih hidup tepatnya di abad 5, beliau pernah mengatakan bahwa andaikata setiap orang munafiq mempunyai ekor maka seluruh jalan akan tertutup oleh ekor-ekornya. Karena saking banyaknya orang munafik waktu itu, Pang! Mungkin kalau Imam Ghozali melihat zaman kita ini beliau akan mengatakan 'uzlah itu wajib, Pang!" Katanya sembari cengar-cengir.
Lucu?
"'Uzlah itu maksudnya menyepi atau menyendiri dari kehidupan orang banyak. Seperti dulu pernah dilakukan oleh nabi SAW. Beliau 'uzlah atau menyepi dari kehidupan orang-orang Arab di gua hiro' untuk beribadah. Kita tahu sendiri bagaimana keadaan Arab waktu sebelum Islam ada. Mereka membunuh anak laki-laki mereka karena takut miskin, mereka kubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena takut malu dan celaan, mereka senang berselisih meski karena masalah yang sangat sepele. Lah, nabi SAW 'uzlah untuk menghindarkan diri dari kelakuan-kelakuan orang-orang Arab itu, Pang!" Tambahnya sembari membetulkan kerudung putih kembang-kembang yang sedari tadi membungkus erat kepalanya.
"'Uzlah itu sendiri dibagi menjadi 2 bagian. Pertama, 'uzlah bathin, artinya yang melakukan 'uzlah hanya hati dan perasaannya saja, kehidupannya masih bersosialisasi dengan orang lain. Kedua, 'uzlah lahir bathin. Maksudnya hidup dan hatinya lari dari kehidupan dengan orang lain dengan tujuan untuk lebih menjaga diri dan mengonsentrasikan diri untuk lebih banyak beribadah!" Jelasnya.
Tapi apa maksud dari semua ini?
Katanya nyepi lebih utama ketika zaman sudah rusak.
Aku sadari hidupku sudah rusak, amburadul. Seabrek asesoris anak gaul yang kebablasan pun pernah aku pakai. Mulai dari potongan rambut Gondes alias gondrong desa sampai potongan Mohawk pernah aku coba. Mulai dari nindik kuping sampai nindik bibir dan kelopak mata pernah aku coba.
Itu baru polesan luar.
Sedangkan kebiasaan lain yang menyesatkan anak gaul pun pernah aku lakuin. Seperti yang aku katakan di depan. Hampir semua jenis molimo pernah aku perbuat.
Apa itu bukan rusak namanya?
Sementara kalau aku kayak gini terus. Bagaimana hidupku di masa tua nantinya? Itu baru pergaulan di SMU. Lah nanti kalau aku kuliah bagaimana? Banyak sekali pertanyaan yang muncul setelah arti dari kalimat yang diucapkan mbah kakung kuketahui.
Kucoba untuk mengingat kembali mimpi-mimpi yang aneh yang pernah kualami. Merangkai misteri dalam mimpi, mencari sebuah jawaban pasti …!
Aku yakin ini adalah hidayah dari Allah SWT.
Aku yakin ini saatnya bagiku untuk merubah semuanya. Hidupku, tingkah lakuku dan semuanya.
Malam pertama seperti malam-malam kemarin.
Malam kedua pun juga sama.
Malam ketiga … aku bermimpi ada dalam satu kamar bareng Zaenal, Gondo, dan Adit. Teman sekelas yang paling sering aku jahili selain Indah. Mereka adalah dedengkot Rohis. Seringkali ketika istirahat kedua mereka bertiga pergi bareng ke mushola sekolahan diiringi ledekanku,
"Hari gini masih ingat Tuhan …!"
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Ampuni aku … Ya Allah …
Ampuni aku …
Ampuni aku …
Di kamar itu bertumpuk buku-buku yang bertuliskan aksara 'araby. Entah ada berapa jilid tumpukan buku itu. Itu baru yang ada di atas meja. Sedangkan di dalam lemari kaca masih ada banyak lagi.
Di kamar itu pula aku memakai pakaian seperti yang dikenakan mereka bertiga. Sarung, songkok hitam plus baju muslim.
Tapi … ada di mana aku waktu itu?
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku kaget melihat dua orang berperawakan tinggi besar sudah berdiri mengacungkan pistol ke arah kami. Seorang lagi dengan baju rapi dengan dasi menggantung di kemejanya dan tali kulit melintang di tubuhnya, berujung di sisi kiri tulang rusuknya, sebuah sarung lengkap dengan pistol terselip di sana!
"Laksanakan!" Ujarnya.
"Siap, Kapten!" Jawab kedua oknum yang menodongkan pistolnya seraya masuk dan menyeretku keluar dengan paksa.
"Anda kami tahan! Karena anda diduga ikut gerombolan Amrozi!" Ujar seorang yang dipanggil kapten tadi.
Entah kenapa … Aku hanya diam tak melawan. Mirip seperti ketika Imam Samudra digelandang polisi dari dalam bis sewaktu tertangkap.
Pasti. Aku yakin. Tempat itu adalah pesantren. Aku yakin pasti. Karena pesantren waktu itu gencar diperiksa aparat dengan alasan sarang teroris. Padahal "Israel is the Real Terorisme". Banyangkan saja berapa banyak anak kecil dan wanita yang menjadi korban kebrutalan zionis Israel.
Islam bukanlah agama kekerasan. Islam agama perdamaian. Islam agama yang penuh kasih saying, bukan hanya kepada sesama manusia saja, tapi kasih sayang kepada sesama makhluk Allah SWT. Peperangan-peperangan yang terjadi pada zaman Nabi pada dasarnya bukanlah dakwah. Semua hanya lah untuk membela diri dari keterancaman nyawa dan keselamatan.
Ketika orang Yahudi mengetahui tersiarnya agama Islam di Madinah, mereka menampakkan permusuhannya kepada kaum muslimin. Padahal sebelumnya mereka member khabar kepada orang Madinah akan datangnya seorang nabi yang sudah dekat waktunya. Tetapi setelah nabi Muhammad SAW datang, para pemimpin kaum Yahudi congkak dan sombong. Mereka tidak suka kalau nabi itu berasal dari orang arab. Yang mereka suka nabi datang dari kaum mereka sendiri.
Ketidaksukaan ini terus berlangsung dan berkarat dalam jiwa sanubari mereka. Hingga akhirnya banyak usaha yang mereka lakukan untuk menghalang-halangi orang untuk memeluk agama Islam bahkan mereka sampai hati menyiksa sahabat-sahabat nabi. Bahkan mereka sudah bersepakat untuk membunuh nabi. Pada awalnya, nabi hanya menanggapinya dengan diam, paling banter ditanggapinya dengan hijrah. Setelah mendapat idzin dari Allah SWT untuk memerangi musuh, nabi baru melakukan perlawanan. Dalam dakwah nabi musuh bukan dicari. Bukan pula dikejar. Tapi kalau mereka menyerang, pantang untuk melarikan diri.
Dalam setiap peperangan, Nabi SAW ketika sedang mempersiapkan pasukan perang selalu mewanti-wanti jangan sampai anak-anak dan wanita dari pihak musuh ada yang terluka. Bahkan dalam sebuah peperangan khusus Nabi meminta jangan sampai merusak tanaman dan kebun-kebun milik kaum Yahudi. Bahkan yang lebih indah lagi dari pesan nabi, bahwa nantinya tentara Islam akan bertemu dengan pendeta-pendeta yang menyendiri dan beribadah di dalam gereja-gereja. Nabi berpesan, “Jangan kalian ganggu mereka yang lagi beribadah di dalam gereja …!”. Nasehat ini beliau katakan sewaktu mempersiapkan pasukan perang Mu’tah yang dilatarbelakangi dibunuhnya utusan nabi Muhammad SAW yang hendak bertemu dengan Gubernur Busra dan dihadang oleh kaum musyrikin.
Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama kasih sayang untuk seluruh alam. Hanya orang bodohlah yang mengatakan Islam mengajarkan dan bertindak dengan kekerasan. Dan yang bertindak kekerasan dengan mengatasnamakan Islam adalah belum tahu Islam dengan sebenar-benarnya.
Tapi … apa maksud dari Al 'uzlatu aula 'inda ifsâdiz zamân?

Malam-malamku serasa nggak seperti kemarin lagi. Setelah tahu lebih arti dari pesan mbah kakung yang terahir itu, rasa senang dan lebih menggairahkan mengisi hari-hari. Malahan aku kepingin tuntaskan kebingungan ini dengan kembali mengalami kejadian itu dan aku tekadkan untuk menyelesaikannya dan bertanya lebih jauh tentang semua kepada siapapun yang bakalan aku temui nantinya.
Tapi apa mungkin aku bisa mengalaminya lagi?
Aku pikir, mungkin lebih baik bagiku untuk menenggelamkan diri mendalami ilmu agama dulu. Tak mungkin tidak.
Aku sudah merasa jauh dengannya. Dan apapun yang akan terjadi suatu saat nanti akan kukatakan yang sebenarnya tentang aku yang sebenarnya yang sudah rusak kepada orangtua, mas Ical dan mbak Indah.
Tapi, nanti! Suatu saat nanti.
Itu pasti!
Yach … aku kudu hijrah ke pesantren untuk membenarkan diri. Memperbaiki hidup yang penuh batu berduri.
Akan kutolak semua tawaran bapak tentang kuliah itu, tentang Cherokee, dan tentang semua kemewahan yang sering bapak tawarkan. Tapi tentunya dengan baik-baik. Dengan suatu penjelasan yang bisa masuk akal meski nantinya bapak kecewa.
Aku yakin pasti bapak akan kecewa. Mutlak …
Tapi biarlah …
Untuk kali ini aku nggak mau untuk diatur lagi. Aku ingin melakukan keinginanku. Sudah saatnya aku mengikuti nuraniku yang telah kembali.
"Kamu nggak tahu apa, Fal!" Bentak bapak waktu itu di hadapan ibu yang masih terlihat heran mendengar penjelasanku bahwa aku kepingin nyantri saja dari pada kuliah.
"Capek-capek bapak banting tulang peras keringat mencari harta untuk keberadaan hidup kita … Bukan hanya untuk kita nikmati saja, Fal. Tapi untuk ditingkatkan lagi …! Supaya anak cucu kita juga bisa ikut merasakannya!"
"Kedua kakakmu telah salah memilih. Mereka lebih senang pada pilihan mereka sendiri. Dokter yang menjadi pilihan Ical nggak bisa diwariskan kepada anak-anaknya, Fal. Sementara Nila memilih arsitek yang bakalan digelutinya. Perempuan koq jadi kuli bangunan! Apa sih yang bisa dibanggakan dari pilihan mereka berdua itu? Apa …? Kamu yang jadi harapan terahir bapak malah semakin nyeleneh49. Apa kamu bisa hidup dengan tumpukan kitab-kitab? Apa kamu bisa hidup dengan bacaan Qulhu50? Kita hidup butuh makan dan butuh uang, Fal!" Tambahnya lagi.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Allahumma ghfir lî dzunûbî wa liwâlidayya warhamhuma kamâ rabayâ nî shaghîrâ … Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan dosa kedua orangtuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu masih kecil … Amin …
Hatiku sakit … Ya Allah. Hatiku sakit mendengar ucapan bapak. Maka dari itu, kabulkan doa hamba ini …
Ya Allah … kabulkan doa hamba yang teraniaya ini …
Ampuni bapakku …
Ya Allah …
Ampuni beliau …!
"Tapi hidup kita apa hanya untuk mencari uang saja , pak? Sudah terlalu jauh Naufal lari dari agama. Hati Naufal kering, pak! Jiwa Naufal kalut kalau hanya mengandalkan harta dan sebangsanya! Naufal ingin hidup dengan mengabdikan diri kepada Gusti Allah dengan sebenar-benarnya, pak …!"
Tak terasa tetesan air mrembes mili51 di pipi. Aku heran, aku bisa kuat mengatakan hal ini di depan bapak yang terkenal keras pendiriannya.
Gusti Allah benar-benar memberiku pertolongan.
Bapak memperbolehkanku untuk menjadi santri meski dengan syarat, aku nggak bakalan dapat uang saku bulanan. Bahkan satu hal yang paling mengejutkan selama aku nggak merubah pendirianku bapak nggak mengakui aku sebagi anak.
Aku kaget setengah mati. Segini jahatkah bapakku?
Dengan sisa tetesan air mata yang aku bingungkan. Entah air mata bahagia atau sedih … aku berdiri meninggalkan rumah.
Ibu menangis mendengar perkataan bapak. Dengan bersusah payah ibu menasehati bapak dengan semua jurusnya. Tapi sayang, kekerasan kepala bapak tak bisa luluh dengan apapun.
Apapun syaratnya bakalan aku terima, Bapak!
Keinginanku sudah di ujung tanduk, Bapak! Nggak mungkin lagi Naufal berlari menjauh dari keinginan ini.
Nggak mungkin lagi Naufal untuk menyembunyikan diri dari hidayah Ilahi.
Naufal ingin berubah!
Jangankan hanya dua syarat yang hanya berkisar tentang remukaning dunya52. Potong tanganpun akan Naufal terima. Lek perlu sa'nyawane pisan53 bakalan aku pertaruhkan untuk bisa kembali lebih dekat dengan agama yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah dan mengantarku untuk lebih dekat lagi mengenal Gusti Allah, mengharapkan ridloNya dan mencari ketenangan hidup sejati di sini, di dunia dan esok, di akherat.
Sebenarnya keluargaku nggak terlalu jauh amat dari agama. Bang Ical dulu pernah mondok nyambi sekolah di Bandung. Nyantri di pesantren milik pak De' dan sekolah di salah satu SMU terfavorit di Bandung. Sementara mbak Indah sendiri sekarang yang nggantiin bang Ical di Bandung. Kuliah di ITB sekaligus belajar agama di pesantren milik pak De' juga. Bapak dan ibu juga nggak nol banget dalam masalah agama. Tapi kenapa mereka berdua begitu getol banget memikirkan dunya?

Inikah takdirku, Gusti?
Saat aku ingin kembali ke jalan-Mu aku harus berseberangan hati dengan kedua orang tuaku.
Beri mereka pencerahan, Ya Allah …
Buka pintu hati mereka, Ya Allah …
Apa mungkin mereka salah persepsi terhadap hadist,
I'mal li dunyâka ka annaka ta'îsyu abadan wa'mal li âhirotika ka annaka tamûtu ghodan …,
bekerjalah kamu mencari harta dunia seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan dan bekerjalah untuk akherat seakan-akan kamu akan mati besok.
Memang secara tekstual terjemahannya seperti itu.
Seharusnya pikiran mereka bisa memahami arti dan makna hadits itu.
Kita mencari harta dunia nggak usahlah terlalu ngoyo54, besok kan masih ada waktu jangan sampai nggak ada waktu lagi untuk mendidik keluarga, apalagi untuk melakukan kewajiban. Wong, mau hidup selamanya koq ngoyo. Waktunya shalat, shalat. Waktunya kerja, kerja. Jangan sampai waktu beribadah dikalahkan hanya untuk mengejar pangkat, harta benda dan pujian.
Sebaliknya, bekerja-beramal untuk akherat harus ngoyo. Katanya kan mau mati besok. Takut nggak ada waktu lagi untuk beribadah.
Betul kan?
Sebagai seorang anak tentu saja ingin memperbaiki kesalahan orangtua. Mana ada sih anak yang mau membiarkan orangtuanya salah terus.
Mungkin esok lusa bapak dan ibu bisa mengerti apa yang aku pikirkan sekarang ini! Amin …
S E K A W A N55

Becik ketitik, ala ketara …
Bukan hal
yang hanya menjadi semboyan saja
tapi merupakan suatu keyakinan
yang diyakini seyakin-yakinnya
Wa qul jâal haqqo wa zahaqol bâthil
Innal bâthila kâna zahûqô …

Suara koor santri Pondok Pesantren Pring Petuk terdengar semakin riuh renyah dan semarak. Lalaran56 yang dilakukan ba'da shalat subuh sehabis bandungan Al Qur'an membuatku terbangun dari tidur. Akupun mencoba untuk meninglingkan pendengaran terhadap gema dalam aula pesantren …
Af'ala … Yuf'ilu … If'alan … Muf'ilun … Muf'alun … Af'il … La Tuf'il … Muf'alun … Muf'alun …57
Ah, lagi lalaran Amtsilâtut Tashrifiyyah.
"Kelasku, itu." Desahku mengingatkan diri sendiri.
Amtsilâtut Tashrifiyyah adalah suatu kitab terkenal di kalangan pesantren karangan Syeikh Muhammad Ma'sum bin Ali Jombang yang dalam bahasa kerennya disebut ilmu morfologi yang digunakan untuk membahas shighot dan tingkah kalimat yang bukan i'rob dan mabni.
Bingung …? Shighot, i'rob dan mabni itu apa …? Ngaji di pesantren dulu ya …? Nanti tahu lebih jelas. Kalau dijelaskan di sini hanya membuang waktu dan tenaga. Ujung-ujungnya nggak paham juga kan? Hehe …
It's not promotion! Hanya tawaran?
Merupakan suatu kegiatan rutin di YP4 kalau sehabis bandungan58 Al Qur'an dilanjutkan dengan lalaran pelajaran nahwu shorof59. Dimulai dari tingkat Jurmiyyah dilanjutkan dengan kelas 'Imrithi dan seterusnya.
Aku mencoba bangkit dari tidurku menuju padasan yang terletak di belakang pesantren untuk mengambil air wudlu.
Tubuhku masih terasa pegal-pegal.
"Ah, lebih baik munfaridan60, dari pada tidak shalat sama sekali!" Pikirku.
Aku sadar bahwa pendapatku itu jelas-jelas pendapat yang keliru. Pendapate wong mbolosondo, wong sing sungkanan61. Nggak ada pendapat yang seperti itu dalam agama. Yang ada adalah, shalat berjamaah lebih baik dari pada shalat munfaridan, sendirian. Dari hadits inilah Al Imam An Nawawi berpendapat menurut qoul (pendapat) yang shohih, bahwa berjama'ah itu fardlu kifayah hukumnya.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, berjama'ah itu fardlu 'ain hukumnya dengan melihat hadits riwayat Bukhori Muslim, … Walaqod hamamtu …
Dan ada juga pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjama'ah itu menjadi syarat syahnya shalat.
Itu semua aku dengar dari romo kyai pas lagi ngaji bandungannya santri kelas 'Imrithi ke atas dalam kajian kitab I'ânatut Thôlibin.
Sudah seminggu ini aku nggak ikut lalaran dan sudah seminggu pula aku mendapat ta'zir atau hukuman untuk merasa kapok mengulanginya lagi. Anehnya aku nggak kapok-kapok meski sudah bermacam-macam ta'zir aku jalani.
Hukuman seperti ini bukan semata-mata hukuman. Tapi merupakan sebuah pelajaran bagi mereka yang telah melanggar aturan yang telah ditetapkan dan telah disepakati bersama. Bukanlah sebuah kekerasan. Karena ini adalah sebuah konsekwensi karena telah melanggar. Konsekwensi dari seseorang yang taat pada hukum.
Mulai dari disiram air ketika tidur, bersih-bersih kolam mandi, sampai berdiri di depan aula selama 3 jam di bawah terik panas matahari pun pernah aku lakukan. Ujung-ujungnya akupun harus dihadapkan pada pengasuh pondok pesantren, KH. Ubaid El Zakky.
Makky dan Rozaq, dua teman sekombongku mencemaskanku. Biasanya kalau ada santri yang dilaporkan ke bapak pengasuh, nggak akan lama lagi santri itu akan mukim, alias pulang kampung atau tereliminasi.
Akhirnya aku bisa kembali ke kombong dengan goresan wajah yang agak sumringah62 nggak seperti santri-santri yang biasanya.
Karena santri luar biasa kah?
Kedua teman sekombongku itupun kebingungan, dan menanyakan ada apa gerangan?
"Apa kamu mengatakan yang sebenarnya kepada romo kyai?" Tanya mereka.
"Ya …!" Singkat.
"Terus …?"
"Nanti malam, tepat tengah malam selama empat puluh hari aku disuruh untuk mandi tobat. Dilanjutkan shalat tahajjud di masjid di dekat mimbar dan memperbanyak membaca istighfar untuk merenungi semua masa laluku!" Jelasku lagi.
"Terus …?"
"Kalian tahu sendiri kan? Kelemahanku yang paling utama adalah bangun malam. Terlebih dalam kondisi seperti ini …!"
"Terus …?"
"Teras-terus!" Bentakku bernada jengkel kepada mereka berdua yang nggak kreatif mencari pertanyaan selain, terus … terus …
"Mahlan Ya Naufal … Mahlan …!63 Kita bakalan bantu kamu untuk bisa bangun malam. Sekalian aku sudah lama nggak wakuncar sama Allâh …!" Ujar Makky.
"Hus … saru64 kamu. Masa' sama Allâh koq wakuncar!" Gantian Rozaq yang membentak Makky.
"Kita kan sayang dan cinta sama Allâh, katanya kalau bermain cinta namanya pacaran …!" Makky membela diri.
"Dasar … wong gendeng65!"

Pada awalnya Makky dan Rozak nggak tahu persis siapa aku sebenarnya. Sampai akhirnya sakau kembali menghantuiku lagi. Rasa itu sulit banget untuk dihindari.
"Ah, Mak … tolong aku!" Desahku lirih di sebelah Makky yang lagi berusaha untuk memejamkan mata.
"Kamu kenapa, Pang?" Makky kaget setengah mati melihat wajahku yang mulai kepucat-pucatan.
Aku menggigil nggak karuan. Keringat dingin membasahi kaos oblong bertuliskan Beda Memang Asik.
"Aku nggak kena apa-apa koq." Jawabku menutup diri.
"Tolong ambilkan jarit lurik yang ada di lemariku, Mak!" Perintahku terputus-putus. Aku nggak yakin untuk melakukan hal ini sebenarnya. Entah dari mana ide itu terlintas. Tiba-tiba saja ada bayangan kalau aku lagi dipasung dengan batang kayu yang masih bergelondongan. Di kamar mana ada kayu bergelondongan macam itu! Ah, pakai jarit saja diikatkan pada kaki-kaki lemari yang penuh dengan baju dan kitab-kitab saja, aku mbatin.
"Ikatkan ujung jarit itu pada kedua kakiku, tapi selipkan dulu jarit luriknya diantara kaki-kaki lemari itu!"
"Kamu mau ngapain, Pang. Lagi sakit koq malah bercanda sih!" Tanya Makky yang kebingungan.
"Udah deh, … cepetan nggak usah banyak ngomong!" Bentakku.
Ahirnya Makky mau melakukan perintahku. Perlahan tapi pasti Makky mengerjakannya. Takut kalau bikin ribut teman kombong lain.
"Ambil satu jarit lagi untuk mengikat tiang itu dengan kedua tanganku, Mak!" Perintahku lagi
"Apa-apaan kamu ini, Pang!"
"Udah deh kapan-kapan kamu bakalan tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan aku malam ini!" Bantahku.
Makky pun kembali menurutinya.
Bukan hal yang gampang untuk bisa menahan rasa itu. Sakit dan bayangan kenikmatan yang pernah ku lalui dulu terus mengiming-imingi66. Akhinya malam itu berakhir dengan bangun tidur yang kerainan67.
Paginya setelah selesai bandungan Al Qur'an pengurus harian pesantren keliling kombong untuk mencari santri-santri yang tidak mengikuti kegiatan shalat jama'ah, bandungan Al Qur'an dan lalaran pelajaran. Aku tertangkap basah.
Sengaja aku paksa kepada Rozak dan Makky untuk tidak menceritakan kejadian semalam. Mereka mau mengabulkan asalkan aku mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
Rozaq dan Makky sempat kaget mendengarkan ceritaku. Cerita kejujuran, bukan kebohongan. Cerita yang sangat berat bagiku sebenarnya, karena baru pertama kali ini aku membuka aib sendiri. Sebenarnya ada larangan untuk bercerita tentang kejelekan sendiri pada orang lain. Terlebih kepada anak dan keluarga sendiri. Sebuah kekhawatiran akan ditiru oleh orang lain.
Tapi aku nggak khawatir untuk bercerita kepada Rozaq dan Makky. Mereka bisa berpikir kalau mereka meniru sebuah perbuatan dosa, pastinya akan meniru juga untuk masuk neraka. Na’u dzubillah …
"Pang, katanya mau mandi tobat!" Kata Makky sambil menggoyangkan pudakku.
"Males, ah Mak. Dingin-dingin gini! Besok saja dah. Aku belum siap nih!" Jawabku ringan sambil menutup kembali kepalaku dengan kain sarung.
"Entar ketahuan romo kyai baru tahu rasa loh!" Ancamnya sambil ngeloyor pergi.
Aku kaget!
Aku lupa kalau aku dipeseni romo kyai untuk bangun tengah malam melakukan mandi selama empat puluh hari tanpa terputus-putus. Kalau sampai terputus-putus, kudu mengulangi dari awal lagi.
Aku segera berdiri mengambil handuk di daun pintu dan sabun yang sengaja aku letakkan di bawah lemari. Dengan serta merta aku berendam di dalam air dingin pegunungan yang tertampung dalam sebuah kolam pemandian bagi kami, cah santri. Kolam pemandian yang biasa kami gunakan mirip persis dengan sebuah kolam renang. Terletak di lantai pertama pesantren yang sudah mengalami rombakan 2 kali, terakhir kali 10 tahun yang lalu.
Hari terakhir malam jum'at tepat yang mempunyai pasaran kliwon, aku di suruh minum suatu ramuan yang dikirim langsung dari romo kyai. Sembari membaca istighfar dan shalawat aku menangis menyesali laku hidup masa laluku yang penuh noda, aib, dosa dan kesalahan. Tengah malam, entah satu kekuatan apa tiba-tiba membuat nafasku tersedak beberapa kali di dalam air. Bercampur lendir, darah itu keluar mengalir lewat mulut. Aku menangis sudah.
"Inikah akhir hidupku, … Ya Allah?" Tanyaku di dalam hati.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Astaghfirullâh al'adzîm …
Ampuni aku … Ya Allah …
Ampuni aku …!
Romo kyai sempat berpesan, "Jangan kamu hentikan lendir yang keluar lewat mulutmu nanti malam!"
"Ya Allâh … sakit!" Desahku.
"Ya Allâh … sakit!"
"Ya Allâh … sakit!"
Aku tetap membuka mulutku untuk menuntaskan pesan romo kyai.
Detik berganti menit … Menit berganti jam … Tapi tak ada tanda-tanda lendir itu hendak menghentikan alirannya. Kepalaku makin pusing dibuatnya. Tubuhku semakin menggigil kedinginan. Angin yang berhembus mencoba merayuku untuk mentas68 saja. Tapi, mustahil aku mau mentas. Akan aku tuntaskan penderitaan ini! Kalau aku harus gagal malam ini. Aku harus memulainya dari awal lagi. Sia-sia sudah pengorbananku kalau aku harus menyerah, pikirku. Tekadku sudah bulat sebulat tekadku untuk memasuki dunia pesantren.
Mataku mulai rabun. Kunang-kunang mulai menghias tatapanku. Tapi lendir itu belum juga menghentikan alirannya. Bahkan aliran kali ini lebih parah lagi. Darah merah kehitam-hitaman sudah mulai terlihat banyak di tengah-tengah alirah lendir itu.
Tatapanku mulai samar, dan …

….

"Ah, dimana aku …?" Tanyaku bingung menatap kang Hamdi, Makky dan Rozaq yang lagi ngumpul di kombong.
"Kamu sudah bangun, Pang?"
"Kamu ditemukan pingsan di kolam pemandian!" Kata kang Hamdi menjelaskan.
"Memangnya kamu lagi ngapain sih dingin-dingin gini mandi di kolam?"
Pasti kang Hamdi belum tahu pasti kejadian ini. "Ah biarin deh!"
"Nggak lagi ngapa-ngapain koq kang?" Ujarku menutupi diri. "Hanya lagi uji ketahanan saja koq, kang!" Tambahku.
"Oh iya, ada titipan pesan dari romo kyai! Kata beliau pingsanmu itu adalah akhir dari segalanya! Beliau mengucapkan selamat atas keberhasilanmu, Pang!" Jelasnya.
"Kamu dikasih ijazah apa sih oleh romo kyai? Bagi-bagi dong!" Rengeknya.
Kami bertiga pun hanya cengengesan.
"Pengasihan, kang …! Mau …?" Ledek Makky cengar-cengir.
Terima kasih kembali, romo kyai!
G A N G S A L69

Duhai Gadis Berkerudung Putih
Jangan kau larang aku tuk memuja
Keindahan ciptaanNya
Yang pada senyummu telah tercipta


Sejak bapak memecatku menjadi anak, aku merasakan kebingungan yang amat sangat. Bagaimana nggak? Aku yang masih relatif muda, 18 tahun harus hidup dengan biaya sendiri tanpa modal dan tanpa kenalan di kota orang lain. Untungnya aku masih punya keahlian utak-atik komputer, motor dan mobil.
Dengan mengandalkan keahlianku itulah aku masih bisa membiayai hidup bulananku di pesantren, beli kitab dan beli dukhon70, tentunya.
Gus Athur-pun kadang bahkan sering memanggilku untuk nangani APV-nya kalau lagi rewel. Bahkan sering kali ketika keluarga ndalem tindakan71 baik itu tindakan silaturrahim maupun tindakan tour spiritual alias ziarah aku diikut sertakan.
"Biar bisa gantiin aku nyupir, Pang?" Kata gus Athur mengajakku.
Dari semua itu aku bisa mengantongi 150 ribu tiap bulannya bahkan seringnya lebih.
Pernah suatu ketika aku menolak pemberian gus Athur. Tapi beliau tetap bersikeras memberi dengan alasan "Keahlian kudu dihargai, Pang!" Dengan segenap keterpaksaan yang aku miliki akupun menerimanya.
Gus Athur, gus Athur … bisa membantumu saja aku sudah senang banget! Apalagi dapat isine amplopan! Hehe …
Sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku bisa menikmati hidup bareng romo kyai Ubaid El Zaky, baik kehidupan sehari-hari di pesantren maupun ketika bareng keluarga beliau pas tindakan. Hanya keceriaan dan senyum yang tampak dari wajah-wajah mereka.
Keakraban merekapun tak pandang bulu. Kepada siapapun mereka akan menyapanya. Termasuk salah satunya putri beliau, Ning Oya.
Sering aku ngobrol bareng ning Oya. Terutama kalau pas aku ditimbali romo kyai untuk menghadap di ndalem72. Ketika mau kembali ke pondok, eh … ning Oya malah ngajak ngobrol. Ya … akhirnya aku layani.
Masalah sekolah, masa kecil, persahabatan dan lain-lainnya. Bahkan dia sering kali curhat kalau lagi ada masalah. Kata dia aku tuh kayak udah dewasa banget. Padahal usianya kan sebaya sama ning Oya, kan?
Lambat laun, setelah mengenalnya lebih jauh tumbuh rasa sayang yang terus terang bagiku terasa saru atau lancang banget lah.
Sampai pada akhirnya untuk menghindari atau setidaknya mengurangi rasa itu semua aku menghindar kalau ketemu dia.
"Kamu jengkel sama aku, Pang?" Kata ning Oya suatu ketika di dapur ndalem setelah aku nyelesaiin tugas dari romo kyai untuk meng-copy CD kitab Maktabatus Shohah Wa Syurûhiha-sebuah CD yang berisi berbagai kitab-kitab hadits shohih, kitab-kitab syarah73, kitab-kitab 'ilmu hadits sekaligus kitab rijâlulhadits74-nya. Kalau dihitung-hitung ada 21 kitab kumpul dalam sebuah CD, di rental komputer.
Kalau nggak salah aku pernah mendengar seorang ulama timur tengah yang mengatakan tentang hukumnya meng-copy diperbolehkan. Selama bukan untuk dijual kembali copy-an tersebut, selama kesulitan mencari yang asli dan selama copy-an tersebut sangat dibutuhkan. Syarat-syarat ini tidak boleh diambil salah satu. Tapi semua kumpul jadi satu syarat. Maka, jaza … diperbolehkan.
"Jengkel kenapa, ning?" Jawabku tersendat-sendat sambil menundukkan kepala. Aku takut mataku ini tak bisa terjaga lagi untuk melihatnya secara langsung.
"Bukankah seharusnya aku yang tanya kayak gitu sama kamu, Pang!" Ledeknya.
"Maksud saya, apa yang harus saya jengkeli dari ning Oya?" Kelihatan banget nervous-nya kan?.
"Habisnya sekarang kamu jauh beda banget kayak kemarin dulu, sih!"
"Maksud ning …?" Sebenarnya aku nggak bingung perkataannya. Aku hanya pura-pura. Aku tahu, kemarin sebelum tukul75 (bukan Tukul Arwananya Susi Similikiti loh!) tumbuhan cinta ini aku selalu berani menanggapi perkataannya, meskipun bu nyai sendiri kadang ikut ngobrol bareng kami. Bagiku nggak masalah. Bahkan sering juga aku membuat mereka tertawa. But now, aku lebih sering diam hanya menanggapi seadanya dan terkesan hanya sebagai pendengar setia.
"Kamu sekarang lebih banyakan diam dari pada ngomongnya!"
"Ooo … itu. Lagi ada masalah aja koq, ning?" Jawabku sekenanya.
"Curhat dong, Pang. Kalau lagi ada masalah tuh jangan dipikirin sendiri. Cari orang yang bisa untuk diajak diskusi. Oya misalnya, cie …! Emang masalah apa, Pang?" Tanyanya sambil mesem-mesem.
Gila … senyumnya itu loh, matuk76 banget sama wajah dan kain yang membalut kepalanya, kain putih berbordir kembang. Ini nih yang bikin aku semakin kesengsem sama ning Oya. Dia kayak nggak pernah kelihatan cemberut. Nggak pernah kelihatan manyun77. Pokoknya wajahnya selalu ceria. Senyum dan senyum yang selalu dia tebarkan.
"Biasa ning, masalah cowo!"
"Cie … Opang lagi naksir ama anak gadis orang nih. Emang siapa yang bisa bikin kamu jadi banyakan diam kayak gitu?" Ledeknya lagi.
Panjenengan78, ning Oya!, aku mbatin.
"Mau tahu aja nih, ning Oya. Emang cowo bisa diam gara-gara masalah kayak gitu tok apa!" Dengan nada agak tinggi. Sengaja aku menutupinya. Aku takut ketahuan. Malu rasa hati ini kalau ketahuan sebenarnya hati ini menaruh sebuah rasa sama ning Oya.
"Marah nih, ceritanya!"
"Habisnya ning Oya ngeledek terus sih!" Aku sedikit manyun.
"Sorry … deh, Pang! Kamu kalau manyun lucu deh, Pang!"
"Tuh kan ngeledek lagi …!"
"Iya … sorry, sorry. Kamu kalau lagi ada masalah koq lemah banget to, Pang. Jadi laki-laki tuh harus berani dan tahan banting. Cuma laki-laki perkasa yang dapat bertahan dari badai kehidupan sebesar-besarnya, Pang!"
"Cie … ceritanya ning Oya lagi nasehatin orang nih!" Gantian aku yang ngeledek ning Oya. "Masalahnya nih nyangkut perasaan ning. Dan Naufal Itmami menyerah kalau udah berhadapan langsung dengan yang namanya rasa. Bikin males ngapa-ngapain deh!" Tambahku.
"Ya … payah nih anak. Perasaan tok koq sampai kayak gitu segala! Itu menandakan kamu tidak pernah puasa Senin Kamis ya, Pang?"
“Koq tahu, Ning?” Tanyaku bingung. Koq bias tahu ning Oya kalau aku sudah tak pernah lagi ngelakuin puasa sunnah itu.
“Siapa dulu dong …? Tsuroya Nurul Ummi, gitu loh.”
Akhirnya kami pun terlibat pembicaraan seru. Emang kalau lagi ngobrol sama ning Oya aku nggak bisa nolak. Perasaannya seneng gitu.
Lupa lapar, lupa ngantuk dan lupa … buang air besar. Hehehe….
Entahlah, untuk saat ini aku nggak bisa untuk membuat sebuah komitmen terhadap seorang anak gadis. Terlebih anak gadis itu adalah anak gadisnya romo kyai, wanita kedua ndalem setelah bu nyai. Mumet mbok?79 Di satu pihak, perasaanku menuntut untuk bisa memenuhinya. Di lain pihak, aku takut ngeganggu kehidupan pribadi ndalem.
Mungkin hatiku telah tertambat pada sebuah kesadaran bahwa aku telah sering menyakiti banyak hati wanita. Itulah yang membuatku mengurungkan niat untuk nembak by love. Tapi nyatanya sulit untuk menghilangkan atau setidaknya untuk mengurangi rasa kagum dan tresna kepada kaum hawa.
Memang benar kata seorang pengamat, katanya kaum hawa itu mempunyai daya tarik tersendiri. Entah pada bagian apanya. Tapi yang jelas daya tarik itu membuat aku mewakili kaum adam tergila-gila. Meski nggak semua kaum adam begitu tapi bolehlah dibilang 83 %-nya kaum adam mengalami hal serupa kayak aku.
Buktinya?
Romeo yang dijadikan maskot cinta sejati bagi penggila cinta, bunuh diri karena Juliet mati. Cinta apaan ini namanya? Apa dia nggak pernah mendengar omongan mang Jaya, juru kunci sekolahanku dulu yang mengatakan bahwa dunia ini nggak selebar daun kelor. Banyak anak gadis yang tercipta di dunia ini untuk dimiliki oleh kaum adam. Bahkan untuk saat ini, lebih banyakan wanita dibandingkan dengan kuantitas lelaki. Bisa dikatakan 3:1-lah atau bahkan lebih. So, maklumlah kalau ada yang namanya poligami. Bahkan ada juga orang yang mempunyai istri sampai 94 orang. Ketika ada salah seorang yang bertanya, apakah dia punya ilmu khusus untuk hal itu? Dia hanya enteng menjawab, punya uang. Aneh …?
By the way … tentang Poligami … aku sendiri heran kenapa pas AA GYM melakukan poligami koq warga masyarakat jadi ribut. Padahal ada pejabat tinggi negara yang melakukan poligami sebelum AA GYM. Tapi masyarakat tenang-tenang saja. Mungkin pejabat itu ibarat nggak ada di hati masyarakat kali ye? Masih hidup tapi sudah dianggap mati. Kasihan deh lo! Kayak nggak ada artinya hidup lagi deh.
Yah benar sudah apa yang pernah aku dengar dari kitab Jawâhirul Kalâm, kitab yang mengupas tentang ketauhidan. Al khothô'us shoghir yusta'dhomu minal kabâir … satu kesalahan kecil masalahnya akan dibesar-besarkan kalau yang melakukannya itu adalah orang besar. Dalam artian orang yang sudah punya bagian di hati masyarakat, bukan orang yang punya perut besar loh!
Meski poligami sendiri bukan sebuah kesalahan, tapi masyarakat masih belum bisa menerima kenyataan ini. Tapi aku maklum koq. Itu merupakan tanda bahwa masyarakat sangat sayang terhadap AA GYM. Dan karena semua itu telah terjadi, so … janganlah masalah perbedaan tanggapan mengenai poligami menjadi berlarut-larut. Kasihan mereka-AA GYM, teh Ninih dan teh Rini-istri keduanya. Marilah kita berdo'a mudah-mudahan AA GYM bisa adil80, bisa mengemban amanat yang tentu saja lebih besar lagi dari pada sebelum ia berpoligami. Amien …
Ada lagi. Qois Al Mulawwah yang gila akibat melihat ceweknya-Layla binti Al Mahdi, nikah dengan lelaki lain.
Aneh memang, cinta kayak gitu koq disenengi. Masih untung Qois, cuma gila tok. Lah Romeo, sampai mati. Emang di kuburan bisa bareng bermain cinta apa, Rom?
Memang rasa cintaku nggak seperti mereka berdua. Bagiku sekarang, nggak usah sampai ketemuan segala, apalagi ngobrol. Melihat tok aku sudah senang banget koq. Padahal rasa itu sempat aku kubur dalam-dalam karena kepenatan aktifitas kepesantrenan. Yah … kini mulai tumbuh lagi.
Kata orang-orang pesantren, godaan untuk tingkatan Jurmiyyah-literatur dasar yang digunakan pesantren dalam mempelajari bahasa 'aroby, dan untuk 'Imrithi-pengembangan dari Jurmiyyah, adalah rasa nggak betah. Sementara untuk Alfiyyah-pengembangan dari kedua kitab di atas, adalah masalah cinta atau wanita.
Tapi koq, beda to yo sama aku! Waktu masih mengikuti Jurmiyyah, aku enjoy aja di sini. Bahkan aku malahan ngerasa kerasan di pesantren dari pada di manapun. Mungkin perasaanku yang sudah tak diakui lagi oleh bapak sebagai anak-lah yang sangat dominan mengalihkan rasa betahku ke pesantren. Sering ibu kirim surat kepadaku secara sembunyi-sembunyi takut ketahuan bapak mengabarkan katanya beliau kangen. Aku pulang hanya karena ibu. Itupun pas hari kamis sore sampai jum'at sore. Di waktu itulah aku bisa pulang. Di samping waktu itu adalah libur mingguan, bapak juga lagi tidak di rumah. Ibupun akhirnya menyempatkan waktu untuk tidak bekerja di hari itu. Bahkan pernah suatu ketika ibu hendak mengirimkan HP kepadaku hanya karena ketahuan bapak akhirnya HP itu dibanting di depan ibu.
"Kasihan ibu!"
Nah sekarang, pas lagi ikut kelas 'Imrithi, eh … godaane Alfiyyah sudah nggak sabaran untuk mencoba mental dan kekuatanku. Kalau godaan itu jisim alias punya wujud, mungkin sudah aku hajar habis-habisan. Sayang godaan itu berkaitan dengan perasaan. Biasanya aku paling nggak kuat kalau sudah berkaitan dengan masalah rasa.

***
Purbalingga, 23 Agustus 2005
Kepada Yth.
Sdri. Tsuroya Nurul Ummy
di tempat

Assalâmu'alaikum War. Wab.
Dengan datangnya surat ini saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Naufal Itmami
Tempat/tgl. Lahir : Wonosobo, 04 November 1984
Alamat : Wonosobo, Jawa Tengah
Berkehendak dengan segenap kerendahan hati ingin menyatakan cinta dan sayang saya kepada saudari Tsuroya Nurul Ummy.
Tiada harapan suatu apapun dari ungkapan ini, hanya sekedar ungkapan rasa yang selama ini telah membuat hati menjadi syighol81 dibuatnya.
Sekali lagi tidak ada suatu harapan apapun dari ungkapan ini karena berbagai kekurangan dan kelancangan saya mengungkapkan hal ini kepada saudari.
Mohon maaf bila ada kata-kata yang tidak mengenakkan.
Wassalâmu'alaikum War. Wab.
yang menyatakan
ttd
Naufal Itmami
"Masa' suratnya resmi banget kayak gini." Protesku kepada Rozak yang sengaja aku suruh untuk membuatkan surat cinta. Tapi, … wack, surat cinta atau surat lamaran kerja?
"Makasih apa ngapa, malah protes. Kalau kebanyakan protes bikin aja sendiri!" Agak sedikit keras Rozak ngomongnya.
"Ih … sorry, Zak. Gitu aja marah. Sentimen banget sih! kamu kan tahu sendiri aku nggak bisa bikin surat cinta. Kalau aku suka ama anak gadis nggak pernah aku pakai namanya surat cinta segala. Langsung nembak, Zak. Tapi ini lain. Aku nggak berani ngomong kayak beginian ama ning Oya." Jelasku meski Rozak sebenarnya sudah mengetahuinya.
Kalau boleh dibilang Rozak adalah teman sekombongku yang paling care dan paling bisa ngejaga rahasia. Sayang darah tingginya itu loh yang nggak nguatin. Yah pinter-pinternya aku saja bisa nguasain keadaan.
"Sekali lagi, Pang. Aku ingetin, kalau ada apa-apa aku nggak ikutan loh!" Ancamnya.
"Iya, bereslah …"
Sebenarnya ada hukuman yang memalukan bagi mereka yang bermain cinta baik lewat surat atau terlebih sudah terang-terangan, yaitu plontos alias dicukur gundul oleh pengurus. Tapi bagiku, apapun konsekuensinya aku sendiri yang bakalan nanggung. Yang penting hati ini bisa tenang, pikirku.
Sengaja surat itu aku yang berikan langsung sama ning Oya. Yah, supaya nggak ada yang tahu tujuanku.
Masalah kayak gini kalau nggak benar-benar dijaga rahasianya, nggak sampai 2 x 24 jam pengurus sudah mengetahuinya. Entah tahu dari mana tuh pengurus. Kayak punya mata-mata aja.
Sudah seminggu ini ning Oya nggak ngebalas suratku. Aku sendiri nggak begitu berharap akan surat itu lagi kini. Maklum, tujuanku hanya untuk menenangkan hati. Biar hati ini menjadi tenang meski ning Oya nggak menyambut rasaku. Sudah seminggu ini pula aku nggak bertemu dia. Biasanya seminggu dua kali aku bertemu dia. Yah biarlah, nggak apa-apa. Nggak ada tuntutan apapun koq. Malah sukur alhamdulillah … kalau aku ditolak. Alasannya karena kalau aku diterima malah aku jadi makin bingung. Gimana coba apa mungkin aku bakalan njalani cinta kayak anak-anak sekarang? Juga nggak mungkin kalau udah jadian nggak pernah ketemu. Naiflah kalau lama nggak ketemu rasa rindu semakin menggebu. Bukan semakin rindu malahan lupa.
Ya nggak …?
Aduh kenapa juga aku nggak mikirin hal yang kayak beginian dulu. Sial …! Nasi sudah jadi bubur. Aku kudu tanggung jawab dengan semua yang aku lakukan.
"Hoi … ngalamun bae, entar kesambet82 loh. Masjid ini banyak jinnya, Pang." Ujar kang Hamdi, lurah pondok mengagetanku yang lagi duduk sendirian di pelataran masjid di lingkungan pondok.
"Eh kang Hamdi … nggak kang. Cuma lagi bosen aja di kamar sendirian."
"Loh emang Rozak sama Makky lagi ke mana?" Tanyanya lagi sembari duduk di sebelahku.
"Biasa, kang. Ngendong turu83 di kombong sebelah." Jawabku jujur.
"Eh … Pang. Tahu nggak anak pondok ada yang naksir sama ning Oya!" Kata kang Hamdi mengagetkanku.
Tuh kan bener. Pengurus sudah pada tahu. Tapi kang Hamdi tanyanya koq kayak gitu sih! Apa kang Hamdi benar-benar nggak tahu siapa yang naksir ning Oya?
"Nggak kang. Emang siapa yang berani banget kayak gitu?" Pura-pura dalam tempurung, aku. Masak aku harus ngaku di depan lurah pondok kalau yang naksir sama ning Oya itu aku. Kalau sudah disidang lah aku baru akan ngaku.
"Katanya sih anak kelas 'Imrithi, Pang! Berarti kelasmu kan? Siapa kira-kira, Pang? Mungkin kamu pernah denger ada anak yang naksir ning Oya? Apa mungkin Makky ya, Pang?" Tanya kang Hamdi detail.
"Nggak mungkin, kang. Dia kan homo, kang!" Ujarku ngeledek membuat mata kang Hamdi terbelalak kaget. "Nggak ding … bohongan koq itu, kang. Tapi yang jelas bukan Makky, kang! Soale Makky kan masih saudara sepupu ning Oya, kang! Lagian Makky juga nggak pernah cerita kalau dia lagi punya rasa ama nig Oya." Jelasku membela Makky.
"Jadi … kira-kira siapa, Pang?" Tanyanya lagi yang kusambut dengan mengangkat kedua bahu.
"Andai aku tahu siapa yang kirim surat ke ning Oya, dia langsung bakalan aku panggil untuk sidang. Sekaligus aku bawa langsung dia ke hadapan romo kyai. Biar dia malu sekalian di hadapan romo kyai!" Ancam kang Hamdi geram yang bikin aku takut 'n deg-degan.
Kayaknya beneran nich ancamannya kang Hamdi. Gaswat, pikirku.
Tumuli84, secarik kertas jatuh dari jaket kang Hamdi …
"Eh, kertas apaan nih kang?" Tanyaku kepada kang Hamdi yang sengaja berdiri membenarkan jaket yang lagi didudukinya.
"Nggak tahu tuh! Coba deh lihat apaan isinya, Pang!" Tambahnya.
Aku mencoba membuka lipatan kertas yang dibawa kang Hamdi.
Astaghfirullâh …
Astaghfirullâh …
Astaghfirullâh …

KEPUTUSAN HATI
NOMOR : 01/KH-01/TNU/IX/2005
TENTANG
JAWABAN SURAT PERNYATAAN
Bismillâhirrahmânirrahîm
KEPUTUSAN HATI I
Menimbang :
a.Bahwa hati adalah merupakan asal muasal terjadinya perbuatan;
b.Bahwa hati akan jadi kosong bila dikotori dengan noda-noda maksiat.
Memperhatikan :
a.Ashlul mahabbah almusyahadah wal ma'arif, asal muasalnya cinta adalah melihat dan berkenalan.
Mengingat :
a.Hadits nabi, … Ingatlah dalam jasad itu ada segumpal daging yang apabila daging itu sehat ae85 bagus maka baguslah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah daging itu adalah hati.
Memutuskan :
a.Lebih baik menghindar dan menghindar.
b.Bukan sok suci hati ini menolaknya, bukan pula berarti cinta itu kotor. Tapi belum siap hati ini untuk bisa menerimanya.
c.Biarlah … jodoh ada pada kuasa Tuhan. Kalau memang itu terjadi, biarlah hari esok yang akan menjadi saksi.

Ditetapkan di
pesolatan@sepertiga malam terakhirnya 1 September 2005
Tsuroya Nurul Ummy
"Isinya apaan, Pang?" Tanya kang Hamdi cengengesan. "Kang Hamdi dapat surat ini dari siapa?" Langsung aku tembak kang Hamdi dengan pertanyaan ini karena aku yakin dia pasti tahu tentang semua ini.
"Tadi sore ning Oya nitipin surat ini untuk diserahkan sama kamu!" Jelasnya jujur.
"Berarti Kang Hamdi tahu semuanya dong! Dan Opang pasti juga bakalan diplontos dong, Kang?" Jawabku memelas.
"Santai aja Pang. Ini bukan surat cinta koq. Ini kan surat keputusan!" Jawabnya sambil ngeloyor pergi yang dibarengi guyonan.
Alhamdulillâhirobbil'alamîn …
"Tengkyu, Rozak! Gara-gara keculunanmu aku selamat dari keplontosan!" Teriakku dalam hati.
N E N E M86

Waktu …
adalah nafas yang tak terulang
Sekali kita buang
Tak akan pernah kembali untuk ditemukan,
Sekali kita sia-siakan
Sesal tak akan pernah kunjung sirna


Siang kali ini seperti sebulan. Lama banget. Nggak seperti biasanya. Kenapa ya?
Apa mungkin karena aku terlalu memikirkan nadzom-nadzom Alfiyah yang kebanyakan menggunakan bahasa-bahasa isyarat, karya Syeikh Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik yang terlalu njlimet bahasan bahasa dan sastra arabnya, ya? "Ah, nggak mungkin!" Singkatku menjawab pertanyaan sendiri.
Apa mungkin karena terlalu memikirkan bulanan yang seret? Mungkin juga sih.
"Sial. Gara-gara memikirkan remukaning dunya aku sebingung ini!" Desahku lirih. Bukan aku cinta uang, sebenarnya. Tapi yang kupikirkan kini manfaatnya.
Seret bulanan sudah biasa. Terlebih ketika pesenan ngetik di rental komputer lagi sepi. Paling-paling ngandalin utak-atik motor di bengkel kang Adan.
Tapi kenapa pas lagi ada banyak keperluan! Kitab-kitab Bajuri 2 jilid yang akan dikaji romo kyai belum sempat aku beli. Persediaan beras sudah mulai habis. Baju-baju kotor sudah mulai bertumpuk, belum sempat aku cuci. Nggak ada uang untuk semua itu. Boro-boro untuk sabun, untuk I'anatus Syahriyyah87 saja aku harus nunggak. Mau pinjam sama teman, rasanya nggak enak. Meskipun ada uang, tapi mungkin mereka punya keperluan yang lebih penting dari pada aku.
Aku nggak berani!
Pernah juga Anam, penghuni kombong sebelah menawari. "Pang, pakai dulu tuh uangku. Gampanglah masalah ngembaliinnya. Kamu sudah sering bantu aku. Gantian ya?"
"Nggak usah, Nam. Kamu sudah terlalu baik. Lagian yang kemarin saja belum bisa aku kembaliin. Masa sekarang aku mau pinjam lagi. Nggak, ah. Nanti aku malah kewalahan bayar utangnya."
"Alah … kayak karo sapa, Pang!"
Anam tetep ngotot menawarkan hutang. Akupun masih tetap ngotot88 menolaknya. Aku ingat pesan romo kyai waktu lagi mengaji, "Hutang, membuat kita tidak bisa istiqomah!"
Betul tidak?
Ada gerangan apakah di rumah? Aku mbatin.
Nggak seperti biasanya, aku mulai memikirkan bapak.
"Assalâmu'alaikum …?" Suara salam gus Diddin mengagetkanku. Bocah cilik yang biasa memakai sarung itu muncul di balik daun pintu kombongku dengan sesungging senyum. Masih kecil tapi jarang sekali pakai celana (bukan berarti telanjang, loh!). Paling-paling pas sekolah, tok! Kesenangannya, memakai sarung batik khas pekalongan.
"Wassalâmu'alaikum … Mari gus, masuk! Ada apa nih, koq tumben-tumbennya mau main ke kombong Opang?" Tanyaku keheranan.
Emang nggak seperti biasanya gus Diddin mau main ke pondok. Dia ke pondok hanya ketika ngaji dan disuruh romo kyai untuk memanggilkan seorang santri. Dia lebih senang di ndalem. Duduk di depan komputer, entah main game atau apalah. Tapi aku salut sama dia. Kecil-kecil sudah pernah membuat novel Islami dan menjadi juaranya sekaligus di Festifal Anak Sholeh. Padahal dia baru kelas 3 SD. Tapi jangan salah sangka. Meski dia anak kemarin, buku-buku bacaan yang dia miliki bukan lagi komik. Tapi buku-buku sastra milik sastrawan-sastrawan terkenal seperti Kahlil Gibran, Imru' Al Kais, KH Abdurrahman Wahid dan masih banyak yang lain.
Gile bener!
"Maaf, mas Opang. Dipanggil abah di rumah. Katanya ada berita dari Wonosobo!" Jelasnya.
"Untuk Opang?"
"Iya lah! Masak untuk jin. Kecuali kalau mas Opang yang ngaku jadi jin, itu baru berita untuk jin." Jawabnya ketus sinambi tersenyum manis.
"Wah, koleksi novelnya banyak amat, mas. Pinjam ya?" Katanya saat melihat tumpukan koleksi buku-bukuku.
"Slilit Sang Kyai! Boleh pinjem ya, mas! Dibaca di sini koq. Udah lama nich Diddin kepingin baca buku karya Emha Ainun Najib. Boleh ya?" Tambahnya pakai pasang muka memelas.
"Boleh, dibawa pulang juga boleh." Jawabku yang lagi membenarkan letak sarung dan memakai seragam santri, baju koko plus songkok.
"Nggak ah. Dibaca di sini aja. Kalau di rumah pasti deh rebutan sama mbak Oya. Kalau di sini kan bisa puas ngebacanya. Kalau sudah ngerasa bosan, ganti buku yang lain!"
Demi mendengar nama ning Oya, hatiku deg-degan nggak karuan.
"Emang ning Oya nggak kuliah, gus?"
"Libur katanya!"
"Oo … Opang tinggal dulu, gus. Selamat menikmati novelnya, cah bagus. Assalâmu'alaikum …!" Pamitku.
Aku keluar diiringi jawab salamnya gus Diddin dan dengan langkah seribu bergegas menuju ndaleme romo kyai. Jarak kombongku ke ndalem nggak begitu jauh, juga nggak begitu dekat. Kira-kira 100 meter-lah setelah melewati pesantren kompleks A dan Aula.
Romo kyai terlihat lagi lenggahan89 di teras depan bareng bu nyai sembari membaca koran langganannya, Radar Banyumas.
"Tadi ibumu telpon, Pang! Katanya kamu harus pulang hari ini juga. Penyakit bapakmu kambuh. Kamu langsung ke rumah sakit saja. Ical dan Nila sudah ada di sana semua. Ini ada sedikit uang untuk perjalananmu pulang!" Kata beliau yang terus terang membuat kaget.
"Maaf romo kyai, merepotkan. Sudah ada koq." Bantahku sengaja berbohong. Aku pikir kalau untuk berbohong kayak begini mungkin nggak dosa lah. Meski aku nggak punya uang, tapi aku nggak mau merepotkan beliau. Diterima jadi santrinya saja aku sudah seneng bukan main.
"Alah … diterima saja, Pang. Nggak usah pakai nolak. Santri pantang loh untuk menerima rejeki!" Kata ibu nyai sambil tersenyum melirik suaminya.
"Saya malah jadi nggak enak sendiri. Terima kasih banyak, … Sekalian mau pamit." Jawabku sembari sungkem.
" Assalâmu'alaikum …!"
"Jangan lupa sampaikan salam kami untuk bapak ibumu sekeluarga, ya!" Pesan beliau setelah menjawab salamku.
Insya Allah …
***
Antara Purbalingga-Wonosobo, kamis 11.00 WIB.
Perjalanan dari pesantren ke Wonosobo kali ini benar-benar nge-BT-in (bukan Birahi Tinggi, loh!). Meski jalanan lancar pun, tapi rasanya kayak macet gitu. Dan meski sebelumnya aku sudah naik bis millah terlebih dahulu. Tapi, entah apa yang menjadi sabab musababnya BTku semakin menjadi-jadi.
"Uch, …" Aku mendesah. Biasanya aku kuat berdiri di bis karena nggak kebagian tempat duduk, tapi kali ini … kursi banyak yang kosong, full music, AC (Angin Cuma-cuma) … bokongku sudah terasa di-sunduki90, sudah nggak bisa diajak kompromi lagi, pegel dan membosankan.
"Aku kepingin cepet-cepet ketemu bapak." Mungkin itu alasan kenapa bokong dan tubuhku pegel-pegel.
Akhirnya sampai juga di halaman Rumah Sakit Umum Daerah Wonosobo. Aku segera berlari menuju bagian informasi untuk menanyakan kamar tempat bapakku opname.
Belum sempat bertanya, tiba-tiba ada yang mengelus punggungku dari belakang.
"Baru sampai kamu, Fal?" Suara yang aku kenal jelas, Bang Ical.
"Eh, iya Bang. Abang sendiri, kapan datang?"
"Kemarin …!"
"Terus di mana dan bagaimana keadaan bapak, Bang?" Tanyaku langsung tanpa basa-basi.
"Kritis, Pang. Sejak kemarin siang belum siuman!" Jawabnya lemas, sambil berjalan menuju ruang Melati Nomer 4.
Aku merangkulnya.
Kalau aku nggak malu untuk teriak, ingin ku teriakkan … “Naufal juga manusia … Punya rasa kangen juga …” hehe … (kayak Candil ga?)
Soale sudah setahun lebih aku nggak ketemu dia. Lebaran kemarin aku tetap di pesantren. Hanya ibu dan mbak Nila yang menjenguk ku. Sempat ku tanyakan, bang Ical koq nggak ikut? Dan kata mbak Nila, Bang Ical lagi nyelesaiin tugas akhir S2-nya, jadi kudu cepat-cepat pulang.
Sementara bapak masih merasa kecewa terhadap pilihanku, nyantri.
"Mbak Nila sudah pulang dari Bandung, Bang …?"
"Sudah, … tadi pagi!" Singkat.

"Fal, maafin ibu ya …!" Ucap ibu di kamar opname sinambi memelukku. Sengaja kutumpahkan kerinduan ini di dalam pelukannya.
"Ach, nggak apa-apa koq, bu. Opang yang salah. Opang yang nggak manut sama bapak atau ibu. Seharusnya Opang sekarang sudah bisa membuat bapak dan ibu bahagia. Sudahlah nggak usah dipikirin lagi masalah itu. Sekarang kita bareng-bareng mikirin kesehatan bapak saja!" Usulku sambil memeluk ibu. Tak terasa pipiku sudah basah oleh tangis. Entah apa yang aku tangisi.
"Kenapa bapak bisa begini, bu …?"
Ibu diam, seakan nggak mau cerita …
"Kenapa, bu …!" Aku setengah memaksa beliau.
"Sejak beres-beres rumah, terlebih setelah menemukan buku diary lusuh bersampul darah di kamarmu, bapak jadi begini …!"
Deg …
Inna lillahi wa inna ilaihi rôji'un …
Ya Allah …
Aku kaget setengah mati!
Diary bersampul darah, adalah luapan perasaanku waktu masih menjadi pengikut syaithon la'natullah 'alaih. Di dalam diary itu aku tulis sumpah serapah dan kekecewaan terhadap orangtua yang kurang memperhatikan kebutuhan bathinku. Di dalam diary itu pula aku teteskan darah demi mencari arti sebuah ketenangan hidup.
Aku lupa … Aku lupa untuk membakarnya. Niatnya sebelum aku berangkat ke pesantren akan aku bakar semua kenangan hitam itu. Tapi, aku lupa …
Aku diam, membisu berdiri membelakangi ibu yang menangis di samping bapak yang terbaring lemas tak berdaya dengan selang-selang infus di tangan dan di hidungnya.
"Jadi, … bapak dan ibu sudah mengetahui semuanya. Semua tingkah polah Naufal masa lalu?" Tanyaku tersendat tangis yang tak tertahan lagi. Perasaan malu, kecewa terhadap diri sendiri, takut dan sedih bercampur aduk menjadi saru. Baru pertama kali aku merasakan malu di depan keluargaku. Pastinya Bapak dan Ibu sudah membaca semua cacian, makian dan celaan yang hanya aku lontarkan lewat tulisan. Pastinya Bapak dan Ibu sakit hatinya.
Ya Allah … Maafkan aku, Ya Allah …!
"Ya, Fal. Sebenarnya bapak dan ibu kecewa terhadap kamu, Fal. Tapi bapak dan ibu sadar, kekurangan perhatian bapak dan ibu yang terlalu memikirkan pekerjaan dan telah melalaikan kamulah yang menjadi penyebab semua ini. Bapak dan ibu minta maaf, Fal!" Ibu menangis semakin menjadi, sambil memeluk tubuh bapak.
“Sampai selesai Bapak membaca buku itu. Tiap selesai satu lembar, Bapak merobeknya dan memasukkan ke tungku perapian. Wajah Bapak merah padam menahan amarah. Sampai akhirnya pada halaman terakhir sebuah kalimat “… aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan tapi aku tak pernah merasakan apa artinya kasih sayang. Aku tak pernah mendapatkan apa yang aku sayangi. Tapi aku akan berusaha selalu menyayangi apa yang telah aku dapatkan. Ya Allah … Maafkanlah kedua orangtuaku …!” Kalimat itulah yang sontak membuat Bapak pingsan.”
Aku tak kuasa menahan sedih, aku tak kuasa melihat semua ini. Aku bersimpuh di kaki ibu yang mulai keriput dimakan usia. Kata nabi, surga berada di bawah telapak kaki ibu. Akankah aku masih mempunyai kesempatan untuk memasukinya … Sementara, aku sudah menyakiti hati ibu … Aku peluk erat-erat kaki beliau …
"Bukan, … Naufal-lah yang salah. Naufal terlalu menuntut perhatian berlebih. Padahal Bapak dan Ibu sudah susah payah membesarkan Naufal dengan kasih sayang, … dengan kerja keras. Seharusnya Naufal yang nggak pernah nerimo ing pandum91lah yang harus menanggung semua ini. Maafkan Naufal, bu. Maafkan Naufal yang telah mengecewakan bapak dan ibu. Maafkan Naufal yang telah membuat bapak jadi seperti ini!" Aku makin tak kuasa untuk tak menangis.
Bang Ical dan mbak Nila yang sedari tadi hanya diam pun ikut-ikutan merangkul tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Sudah, … yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang kita semua telah sadar akan kekeliruan kita masing-masing. Bapak kali ini lebih memerlukan perhatian kita bersama. Jadi kita hentikan drama yang menyedihkan ini!" Nasehat bang Ical mengiringi senyum bahagia kami.
***
Ba'da Maghrib, bapak tersadar. Bapak memintaku untuk memeluknya. Suatu permintaan yang membuatku menangis bahagia. Bapak masih menganggapku anaknya.
Alhamdulillahirobbil'alamin …
Alhamdulillahirobbil'alamin …
Alhamdulillahirobbil'alamin …
Aku memeluk erat beliau, dan minta maaf atas semua kesalahanku seraya menyampaikan salam dari K. H. Ubaid el Zaki sekeluarga.
Sudah lama sekali kami nggak ngobrol seperti ini, tepatnya setelah aku mengambil keputusan untuk nyantri di pesantren.
Dari pembicaraan itu, aku menangkap keikhlasan bapak melihat anaknya yang bontot dan paling ganteng ini (cie …!) untuk nyantri. Suatu kebahagiaan tersendiri, meski bapak tidak mengatakannya. Tapi dari sorot tatapan mata dan keakrabannya, jelas banget menggambarkan semua itu.
Setelah panjang lebar ngobrol bareng bapak, sekitar jam 21.00 WIB …
"Fal, bapak kepingin denger kamu nderes Al-Qur'an. Tolong bacakan bapak surat Yasin, Waqi'ah, dan surat Tabarok. Mau kan, Fal? Mintakan ampun kepada Allah untuk bapakmu ini ya, Fal!" Pinta bapak yang kuiyakan begitu saja, penuh semangat tapi terasa berat mataku tatkala sebutir air menggantung di bulu mataku.
Aku memulai washilahku dengan mengharap ridlo Allah SWT dan mengharap syafa'at kepada Nabi Muhammad SAW serta washilah kepada beliau, ahli bait-nya dan para sahabatnya. Kulanjutkan dengan washilah kepada segenap ulama mutaqoddimin, ulama mutaakhirin dan segenap ulama yang aku kenal namanya dan perjuangannya li i'lâi kalimâtillâh. Tak ku lupakan mbah kakung dan mbah putri-ku serta memohon doa kepada Allah SWT untuk kesehatan dan keselamatan kami sekeluarga, terutama bapak.
Surat Yasin, Waqi'ah, mulai selesai. Dan tinggal surat Tabarok …
Tiba-tiba … Detektor jantung bapak, labil. Aku kaget! Panik!
Astaghfirullâhal'adzîm …
"Suster! Ibu! Bang Ical!, mbak Nila …!" Aku teriak sekencang-kencangnya memanggil mereka. Aku benar-benar takut!
Satu persatu mereka masuk. Bang Ical duduk di samping tubuh bapak sambil mendekatkan mulutnya ke telinga bapak untuk melantunkan Asma-asma Ilahiyah, istighfar, dan takbir serta tahmidnya.
"Selesaikan bacaanmu, Fal!" Suruh abangku. Ibu turut menemani bang Ical menuntun bapak untuk istighfar. Sementara mbak Nila menemaniku membacakan surat Yâsîn. Suasana tambah menyedihkan terlebih ketika suara bapak makin melemah.
Air mata yang menetes ringan di pipi bang Ical tampak menggambarkan beratnya arti perpisahan. Terbayang seorang bapak yang dulu menyayanginya sewaktu kecil. Merangkulnya kala sendirian. Mendekapnya kala kedinginan. Menciumnya dengan penuh kasih sayang kala tangisnya memecah kesunyian malam. Membelainya kala ketakutan.
“Oh, Tuhan … Ampunilah dosa hamba dan dosa kedua orangtua hamba …!”
Terlebih air mata yang menetes berat di wajah ibu, jelas-jelas menggambarkan semua itu. Perpisahan dengan orang yang paling beliau sayangi yang telah menemani hidupnya dalam suka maupun duka. Perpisahan dengan suami yang telah kembali sifat lemah lembut dan perhatiannya. Perpisahan dengan teman yang rela berbagi keindahan, ketakutan, amarah, egois, kekhawatiran dan kebahagiaan. Perpisahan dengan orang yang telah menemani tidurnya selama 25 tahun dengan penuh kasih dan saying.
Tiit … Tiit … Tiit …
Tiit … Tiit …
Tii … it …
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un …!" Isak bang Ical tabah sembari menutup mata bapak.
Mbak Nila yang terlihat tabah menerima cobaan ini, memapah ibu yang pingsan untuk dibaringkan di sofa. Aku membantunya, tapi tetap saja aku tak kuasa untuk menahan sedih dan tangisku. Terlebih kalau ingat penyakit jantung bapak kumat gara-gara aku!
"Fal, kita semua sayang bapak. Tapi semua ini sudah menjadi takdir kita. Dan Allah lebih berhak atas semua ini …!" Pesan singkat mbak Nila memelukku.
"Iya, mbak. Tapi bapak pergi ketika Naufal tidak pernah membuat bapak bahagia dan bangga atas pilihan Naufal. Naufal janji, akan berusaha melaksanakan pesan bapak. Menjadi hamba yang baik bagi Allah SWT, anak yang baik bagi kedua orangtuanya, murid yang baik bagi gurunya dan menjadi teman yang baik bagi sesama umat manusia!"
Maafkan Naufal, bapak …!

… semua ketetapan tuhan
telah ditetapkan tetaplah sudah …
tak ada yang bisa merubah, dan takkan bisa berubah …

Hadapi dengan senyuman_Dewa

P I T U92

Apa yang kami cipta, …
Kami cita …
Kami cinta …
Semoga, selalu milik kita
Amien …

Pernah dulu waktu silaturrahim ke rumah salah seorang pengasuh pondok pesantren masih di kabupaten Purbalingga aku melihat lukisan salah seorang pejuang kemerdekaan, tepatnya pejuang bernama Sultan Hasanuddin bertuliskan motto perjuangan "Bondo, Bahu, Pikir, Lek perlu sak nyawane pisan93".
Mengingat motto perjuangan itu aku jadi teringat salah seorang temanku yang bernama Amin. Lengkapnya Amin Saifullah. Tapi kami lebih senang menyebutnya dengan kang Amin. Karena dia lebih tua di pondok meski umurnya lebih muda setahun dari pada umurku. Tapi keberadaannya di pondok jauh enam tahun lebih awal dari pada aku.
Setamatnya dari SD, dia langsung langsir di pesantren.
Itulah uniknya pesantren.
Pesantren dihuni dari berbagai status sosial yang ada di masyarakat. Mulai dari anak petani, anak pedagang, sampai anak pejabat pun ada yang mau hidup di pesantren.
Jadi bukanlah sesuatu yang mengherankan kini, kalau banyak pula alumni (sebenarnya aku kurang setuju kalau ada yang mengatakan alumni pesantren. Santri sejati tak akan pernah merasa dirinya sebagai alumni pesantren. Alumni kan sama saja dengan bekas. Masa' ada bekas santri. Nggak bagus bangetkan? Bekas penjahat lah bagus!) pesantren yang menekuni segala bidang. Mulai dari tani, guru, sampai pejabat pemerintahan.
Sayangnya kini pesantren mulai merasa keleson94 santri. Kini jarang sekali ada yang melirik pesantren. Rata-rata mereka menganggap rendah santri. Mereka pikir menjadi santri tak akan bisa hidup di masa tua yang serba membutuhkan harta materi.
Padahal seperti apa yang dikatakan romo kyai Ubaid El Zaky, kekayaan sejati ada dalam hati. Bukan pada tumpukan materi semata.
Penilaian masyarakat terhadap pesantren terpengaruh dua faktor besar. Dari dalam pesantren itu sendiri maupun dari pandangan umum masyarakat.
Dari dalam pesantren misalnya. Banyak pesantren yang tidak mengajarkan anak didiknya masalah ketrampilan untuk bekal modal kehidupan di hari tua santrinya. Sehingga masyarakat banyak yang beranggapan, "Mau hidup dengan apa santri kelak di hari tua?" Di samping itu kehidupan di pesantren yang serba apa adanya juga lebih banyak mempengaruhi anggapan masyarakat. Contohnya masalah kebersihan, lembaga pendidikan yang-maaf, kurang elok sebenarnya kalau dikatakan paling nyleweteh alias paling jorok-kurang terawat adalah pesantren. Ini menandakan penghuninya kurang memperhatikan masalah kesehatan. Padahal ungkapan An Nadzofatu Minal Iman lahir dari pesantren.
Ditambah lagi santri yang nggak pernah bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang yang dipandang baik oleh masyarakat. Mereka hanya memikirkan, ini hidup gue! Jadi gue berhak untuk melakukan apapun yang gue suka!
Bener-bener santri yang bajingan!
Seorang yang mempunyai anak gadis kalau dilamar oleh santri pasti orangtuanya atau gadis itu sendiri akan berpikir dua kali lipat sepuluh terlebih dulu.
Lain kalau yang melamar seorang sarjana. Tanpa pikir dua kali lebih panjang pasti langsung diterima. Meski sarjana itu belum mempunyai pekerjaan sekalipun. Tapi dia sudah dianggap mempunyai masa depan yang cerah dengan gelar yang dimilikinya untuk mencari sesuap nasi dan selembar kain penutup tubuh, sarjana.
Dan untuk hal ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam khususnya. Bahkan ada keluarga seorang kyai yang melakukannya, tak lain yach memandang status sosial dan kehidupannya sehari-hari.
Pernah ada seorang kyai yang mempunyai anak gadis dan juga mempunyai banyak santri. Beliau merasa kelelahan kalau semua santrinya kudu beliau tangani sendiri. Akhirnya beliau meminta bantuan kepada seorang teman kyainya untuk mencarikan anak mantu.
"Saya punya teman yang hafal dan faham sekaligus Alfiyyah secara menyeluruh, kitab 'Uqudul Juman hafal, alim, jago debat! Bagaimana pak kyai?" Kata temannya.
"Oke, itu yang saya cari-cari!" Jawab kyai itu mantap.
"Tapi sebelumnya saya akan musyawarah dulu dengan istri saya!" Mulai ragu.
"Oh … silahkan, jangan sampai getun tumibo wingking95!"
Ternyata akhirnya kyai itu mencabut permohonan bantuannya. Kenapa ?
Karena santri yang hafal Alfiyyah dan 'Uqudul Juman itu miskin. Rumahnya yang bambu itu sudah mulai rapuh akibat terkena siraman air hujan.
“Terus yang diinginkan seperti apa? Biar saya carikan …!” Tawaran temannya.
“Nggak usal terlalu alim … sing penting … sugih!” Jawabnya.
Masya Allâh … itu kyai! Lah yang bukan kyai bagaimana?
Faktor dari luar pesantren sendiri, masyarakat sekarang sedang parah-parahnya terkena syndrome matrelialistis dan syndrome kapitalis. Mereka selalu menggunakan prinsip ekonomi di semua tempat dan keadaan. “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya.”
Mereka berpikir untuk memondokkan buah hatinya kira-kira menghabiskan modal berapa dan bisa menjadi apa? Bisa balik modal nggak tuch? Bisa jadi kyai atau ustadz kondang yang dakwah keliling nusantara? Wah boleh tuch! Hehe …
Mereka berpikir pula memondokkan aanak-anaknya tapi nggak mau memberikan uang saku. Mereka kepingin mondok itu gratis. Tanpa mengeluarkan modal tapi bisa menjadi kyai besar. Bagaimana bisa jadi alim ulama kalau membeli kitab saja merasa terlalu berat.
Back to kang Amin …
Ada tiga kriteria wong tua96 yang kudu selayaknya dihormati. Pertama, wong tua umur. Yaitu orang yang lebih tua umurnya dari kita. Yang kedua, wong tua pitutur. Yaitu guru kita. Orang yang lebih punya banyak ilmu meski umurnya lebih muda dari kita. Yang ketiga, wong tua sembur alias dokter.
Lah kang Amin ini bagi kami penghuni YP4 menganggapnya sebagai wong tua pitutur97. Sifatnya emang masih layaknya anak-anak ABG (bukan angkatan babe gue!). Tapi tunggu dulu. Kalau kedewasaannya muncul kami ibarat anak-anak yang tiada guna. Kami sepertinya bocah-bocah yang masih balita. Nasehatnya sudah kayak orangtua banget.
Bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan …
Sering dia dengung-dengungkan selagi khitobahan98. Ia berharap semua santri bisa menerapkan kalimat di atas dalam kehidupannya sehari-hari dalam menejakkan panji-panji Ilahi.
Nyatanya omongan itu bagi kang Amin bukan hanya sebatas omongan belaka. Tingkah lakunya pun tampak mengisyaratkan perjuangan tanpa pamrih yang berprinsip bondo, bahu pikir lek perlu sak nyawane pisan itu.
Jiwa yang dimilikinya seperti sudah terukirkan kata-kata perjuangan tanpa pamrih itu.
Pernah, ketika teman-teman sekombongnya kehabisan persediaan beras. Entah lagi kenapa tiba-tiba saja kiriman dari rumah telat semua. Mereka kelaparan dua hari dua malam. Hanya air putih yang mereka minum dan menunggu ajakan makan dari teman kombong lain.
Suatu ketika kang Amin tidak ada di pondok. Mereka mencarinya untuk diajak makan. Sampai sore dia nggak kelihatan. Sampai malamnya kang Amin kelihatan kembali dengan membawa sekarung gabah99 yang entah didapatnya dari mana.
Kami mengira kang Amin pulang ke rumah untuk mengambil beras. Tapi, masa' iya sih. Biasanya kan kalau kang Amin pulang ke rumah bukan gabah yang dibawa. Tapi beras.
Ketika kang Amin ditanya, dia hanya cengengesan yang membuat hati menjadi curiga.
"Wah, jangan-jangan kang Amin nyolong100 nih!"
Jahat banget, sih. Su'udzon101 kepada teman sendiri yang belum jelas dia nyolong atawa102 ngambil dari rumah.
Baru keesokan paginya rasa penasaran kami terjawab ketika ada seorang warga desa yang mengantarkan sekantong gabah lagi untuk kang Amin.
"Kemarin Amin ikut membantu bapak di sawah, mbawon103. Dia baru membawa setengah bagiannya, ini setengah bagiannya lagi!" Kata pak Rudin, pemilik sawah yang dibantu kang Amin menjelaskan.
Ya Allâh … kang Amin mencari gabah sendiri tanpa memberitahu yang sebenarnya.
"Kalian telah menuakan aku di sini, yah sudah selayaknya wong tua kudu ngopeni anak-anake …!104" Jelasnya ketika kami minta maaf telah su'udzon kepadanya.
Sebagai bentuk permintaan maaf kami, akhirnya kami memijatnya dua jam berturut-turut. Sebagai bentuk terima kasih tanpa pamrih meski sebelumnya telah ditolak dulu oleh kang Amin.
Kang Amin … Kang Amin …
W O L U105

Pergi tanpa pamit
Dan pulang tiada bilang
Seperti kehilangan …
Tanpa tahu siapa yang pergi dan datang
Kutiti setiap sisi
Kupegang setiap yang kupandang
Tuk cari bukti
Siapa yang pergi dan datang


Tiga tahun setelah meninggalnya bapak, hari-hariku tak seperti sebelum beliau wafat. Mungkin rasa sesal yang makin bertingkat. Kenapa juga aku dulu kudu merusak hidupku dengan semua bayang-bayang syethon la'natullahi 'alaih.
Sejenak aku berpikir, Kenapa aku menyalahkan setan? Padahal kan itu salahku sendiri. Berlari dari godaan setan pasti bisa lah. Tapi, kenapa aku malahan mengikutinya. I'm Sorry satan … Aku yang salah koq. Aku tahu kamu jelas-jelas bakalan menyesatkan manusia seperti janjimu kepada Allah SWT. Tapi manusia juga diberi kekuasan untuk melawan keinginanmu dengan adanya iman dan taqwa. Keduanya itulah yang dulu aku nggak punya. Sehingga laku pun mengikuti bisikanmu. Aku memang lemah … untuk bisa melawan nafsu!
"Fal, bapak bangga kamu mampu merubah diri sendiri … tapi bapak kecewa. Nggak sedikit bapak kecewa. Bapak shock ketika membaca diarymu itu. Tapi akhirnya bapak sadar dengan semua yang bapak lakukan … "
"Fal, jadilah kamu hamba yang baik bagi Allah SWT, murid yang baik bagi gurunya, anak yang baik bagi orangtuanya dan teman yang baik bagi sesama umat manusia!" Pesan terakhir bapak.
Naufal janji bapak!
Naufal janji bapak!
Naufal janji bapak!
Naufal berjanji akan berusaha untuk melaksanakan pesan bapak.
"Pang, ditimbali romo kyai! Di kantor! Kata beliau ada tamu yang ingin ketemu kamu dari Departemen Agama!" Kata kang Hamdi tiba-tiba mengagetkanku. Sambil menggelayut di daun pintu, kang Hamdi keheran-heranan melihatku yang lagi bingung.
Tamu? Dari Depag? Siapa?
"Eh, ditimbali romo kyai koq malah ngalamun! Cepetan gih, lagi ditunggu tuh!"
"Iya kang!" Aku segera bergegas mengambil songkok yang menggantung di dinding tembok kombongku. Pakaianku masih seperti waktu lagi ngaji, baju koko plus sarung. Sengaja aku belum menggantinya. Tanggung mau shalat dzuhur sekalian, pikirku.
Dengan langkah yang mantap kulewati lorong-lorong kombong yang bagaikan lubang deles106 kompor yang menyala-nyala.
Hari ini terasa panas banget.
Sejenak terlihat mobil KIA Atoz warna metalik bernomor polisi H 10474 TI terparkir di depan kantor pengasuh.
Cantik bener nomor polisinya … H 10474 TI terbaca Hidayati, desahku melirik mobil yang masih kelihatan mengkilap itu.
"Masuk, Fal!" Kata romo kyai setelah menjawab salamku dari luar.
"Kenalkan, ini bapak Ahmad Mukhotib Kepala Depag Kabupaten Purbalingga. Beliau kepingin menyampaikan sesuatu sama kamu!" Tambah beliau sambil kusambut uluran salam pak Khotib yang berdiri dari duduknya.
Terlihat seorang gadis ayu berkerudung putih duduk manis di sebelah pak Khotib tersenyum kala kulirik sejenak.
Kubalas senyuman itu. Kayaknya aku pernah lihat dia, aku mbatin lirih.
"Panjenengan yang bernama Naufal Itmami?" Terlihat berwibawa ucapan bapak yang satu ini.
"Leres!107" Jawabku canggung.
"Panjenengan mendapat undangan dari Depag Kabupaten Purbalingga untuk mengikuti Muktamar Lintas Organisasi di Jakarta Convention Center. Berikut undangannya!" Kata beliau sambil menyodorkan sebuah amplop putih.
"Maaf, pak. Kalau boleh saya tahu, dari mana Depag mengenal saya dan kenapa koq memilih saya?"
"Oh iya, sebelumnya saya juga minta maaf karena terlalu bersemangat menyampaikan surat ini!" Ujar pak Khotib sambil senyum-senyum.
"Panjenengan masih ingat? Panjenengan pernah menulis artikel di sebuah majalah mingguan ibu kota. Di situ panjenengan menulis dengan sangat indahnya arti sebuah perbedaan. Dari situ saya pikir artikel yang panjenengan itu benar-benar cerita sejati bukan karangan belaka! Betul?" Tambah beliau plus tanya langsung, meski sebenarnya aku agak ingat-ingat lupa.


Perbedaan memang sudah kodrat. Takdir Ilahi. Manusia patut bersyukur karena diciptakan beraneka ragam. Mulai dari zaman nabi Adam sampai hari kiamat pasti tidak ada seorang manusiapun yang sama satu dengan yang lainnya secara kesuluruhan.
Dan manusia juga haruslah menyadari atas keindahan Tuhan YME atas semua ciptaan-Nya tersebut.
Dia memanglah Yang Maha Kreatif.
Seperti halnya yang terjadi antara bapakku dan aku. Kami beda sepenuhnya, seluruhnya dan semuanya. Seperti tak ada kesamaan sama sekali di antara kami. Hanya satu yang sama yang ada pada diri kami, darahku yang mengalir masih sama dengan yang mengalir pada tubuh bapakku.
Bapak yang keras kepala. Sementara aku, lunak dan penuh perasaan. Bapak yang ulet, tlaten dan giat bekerja. Sementara aku, malas, bosenan dan sama sekali tidak senang dengan yang namanya kerja keras. Menyita waktu!
Tapi semua perbedaan itu tiada akan pernah menghalangi aku untuk selalu dan terus akan menghormatinya. Kami sama dalam darah. Kami sama dalam nadi dan kami sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa.
Rasa hormat ini tak akan pernah habis meski bapak sering menyudutkanku terhadap beberapa hal. Bahkan semua hal. Keinginannya untuk membiayaiku kuliah plus segala fasilitas mewahnya kerap kali bapak bicarakan tiap waktu. Tapi dengan syarat pilihan jurusannya adalah pilihan bapak. Sementara aku tak ada minat sama sekali untuk menekuni pilihan bapak itu. Hal yang seperti inilah yang sering membuat kami saling diam. Tapi, rasa hormat dalam hati ini tak akan pernah luntur untuk hal yang hanya sesepele itu.
Bapak seperti memusuhiku, meski tak pernah aku anggap seperti itu. Bapak seperti membenciku, meski tak pernah aku menilainya semacam itu.
Sampai akhirnya suatu ketika bapak bisa menerima perbedaan kita yang jelas-jelas sudah menjadi kodrat Ilahi.
Waktu bukan diciptakan untuk sebagai tumbal memperuncing perbedaan. Tapi waktu tercipta bagi kita untuk bisa merenung mengartikan makna perbedaan dan mengisinya dengan penuh kearifan memperindah makna kata beda.
Sekali lagi.
Katakan beda itu indah!

Mantap aku mengingatnya sembari membuka surat itu dengan tangan bergetar. Entah ini sebuah ekspresi apa. Kebahagiaankah? Atau ekspresi ketakutan? Tapi ketakutan untuk hal semacam apa? Hanya Allah yang harus kita takuti karena banyaknya dosa kita.
Aku tak perlu membaca isi surat itu karena sama persis seperti apa yang disampaikan pak Khotib, hanya hari pelaksanaan pembukaan Muktamar itu yang aku amati.
Sepuluh hari lagi, kata hatiku.
"Nanti panjenengan berangkat saja ke Kabupaten, sehari sebelum acara pembukaan. Panjenengan akan berangkat bersama Bupati Purbalingga dan segenap perwakilan dari berbagai ormas Islam yang ada di wilayah kabupaten Purbalingga." Tambah pak Khotib.
"Menurut romo kyai … saya harus bagaimana?" Tanyaku kepada romo kyai Ubaid El Zaky. Sebenarnya bukan bertanya tapi lebih inti minta izin.
Jawab beliau hanya tersenyum. Dan aku tahu bahwa senyum itu adalah merupakan pemberian izin dari beliau yang disambut senyum pula oleh pak Khotib dan gadis itu …
Kayaknya aku pernah melihat senyum gadis itu, batinku kembali mencari file dalam my dokumen yang tersimpan di otakku.
Astaghfirullâhal'adzîm …
Gadis itu tersenyum lagi … dan lagi …
Astaghfirullâhal'adzîm …
Kedua mata kami bertemu. Aku langsung menundukkan kepala.
Pak Khotib dan romo kyai melihat gelagatku.
"Oh iya … sampai lupa! Perkenalkan, dr. Hidayati Indah Putri, keponakan saya …"
Indah …! Aku kaget beneran kali ini. Dia sudah jadi dokter!
"Ternyata kamu sudah banyak berubah ya, Pang?" Tiba-tiba saja Indah mengucapkan kata-kata itu.
"Ternyata kamu kenal to, In …?" Tanya pak Khotib.
"Iya, pak de'. Opang ini teman SMU Indah di Wonosobo. Indah pikir, dulu dia melanjutkan kuliahnya di Hubungan Internasional UGM ternyata Naufal si biang keributan di kelas bisa kerasan juga hidup di pesantren … " Jelasnya yang membuat pak Khotib kaget bukan kepalang mengiringi derai tawa kami.
Tak terkecuali romo kyai yang sudah tahu persis kehidupanku.
"Perubahan ini kan berkat bantuanmu juga, In …! Kamu juga banyak berubah, In. Makin sukses kamu ya? Dan makin …" Cantik. Kalimat terahir yang terpotong ini sengaja tak kuucapkan. Dia bener-bener sudah nggak seperti gadis cupu lagi. Lebih cantik dari pada Siti Nurhaliza.
"Eh, ngomong-ngomong … bagaimana kabarnya bapakmu?" Tanyaku di luar kantor pengasuh setelah pak Khotib pamitan karena masih ada banyak acara.
"Alhamdulillâh … sehat-sehat saja. Sering beliau nanyain kamu loh, Pang!"
"Lah terus kamu njawab apa?"
"Yach … seperti yang aku katakan tadi. Kalau bapak tahu kamu akhirnya ke pesantren, pasti beliau bahagia banget, Pang!" Jelasnya yang kusambut cengengesan.
"Eh … ini beneran loh. Dulu bapak pernah kepingin nyaranin kamu masuk pesantren saja. Tapi beliau nggak enak sama kamu. Bagaimanapun juga kamu pasti mempunyai cita-cita. Dan bapak nggak ingin merusak cita-citamu itu!" Jelasnya lagi.
"Yach … syukurlah ada yang merasakan kebahagiaan dengan apa yang aku lakukan. Kalau kamu pulang, sampaikan salam untuk bapak sekeluarga ya!" Pesanku sebelum Indah masuk mobil.
"Insya Allâh … Eh, sampai lupa … Maaf ya, tiga tahun yang lalu bapakmu meninggal dunia aku nggak ta'ziyah. Aku turut berduka cita, Pang. Aku baru tahu tiga bulan kemudian, dan pas ke rumahmu, di sana lagi nggak ada orang! Terus selama ini kalau aku pulang kampung nggak pernah sampai berhari-hari. Maklum banyak banget kerjaan. Jadi maaf nggak pernah silaturrahmi ke rumah kamu!"
"Nggak apa-apa lagi … Mohon doanya saja. Mudah-mudah kesalahan-kesalahan yang pernah beliau lakukan diampuni oleh Allâh SWT dan tenang di alam sana … "
Amien …
"Boilmu ini, In?" Tanyaku nyleneh.
Hehehe …
Senyum itu kembali menghias wajah ayu nan imutnya seperti tujuh tahun yang lalu…
Nomor polisinya secantik yang punya!
"Pantesan nomor polisinya H 10474 TI …!"
S O N G O108

Tenangkan hatimu,
Wahai mentari, … rembulan, …
Dan engkau wahai semesta !
Jangan kau iri,
dengan yang kuputuskan …
Biar kutuntaskan rasa ini,
Meski kalian terluka …

Seminggu menjelang keberangkatan ke Jakarta, Indah mengajakku pulang ke Wonosobo. Katanya dia kepingin ziaroh ke kuburan bapakku. Aku mengiyakannya, sekalian pamit sama ibu, kalau aku hendak ke Jakarta selama seminggu.
Indah mengajak sepupunya yang bernama Indri yang masih duduk di bangku sekolahan di SMU Negeri 1 Purbalingga.
Perjalanan panjang Purbalingga – Wonosobo tak kami lewatkan sia-sia. Kami ngobrol panjang lebar. Masa lalu, kehidupan baru dan masa depan.
Dan di situlah baru aku tahu kalau ternyata Indah masih single.
Kenapa? Sempat kutanyakan hal itu.
"Mungkinkah nggak ada yang berani ngelamar seorang dokter muda yang sukses yang sudah menyandang title M.Psy?" Aku bertanya lirih.
"Nggak,Pang. Ada koq yang mau ngajak serius sama aku. Bukannya aku sombong nih, lebih dari lima orang aku tolak mentah-mentah. Tahu kenapa, Pang?"
Aku menggeleng sambil tetap mengkonsentrasikan diri pada setir mobil KIA Atoz milik Indah. Sewaktu menjemputku di pesantren, Indah memberikan kunci mobilnya kepadaku.
"Sebagai ganti ongkos pulang, kamu kudu nyetir, Pang!" Ledeknya.
Sialan …!
"Lima orang itu aku kenal betul bagaimana sifatnya, kesehariannya, dan tingkah lakunya. Dua di antaranya temanku di kantor. Dan selebihnya teman kuliahku. Tapi sayang, semuanya tak ada yang memenuhi kriteriaku!"
"Emangnya, tipe cowok yang kamu pilih seperti apa, In?" Tanya aku penasaran.
"Sederhana saja, Pang. Seperti apa yang dikatakan Ibnu Ruslan, sunnah bagi mereka yang ingin dan mampu untuk menikah yaitu mencari yang masih single, mempunyai agama dan nasab yang bagus!" Jelasnya.
"Oh iya aku tahu, dalam syarahnya kitab I'anatut Tholibien ada dijelaskan begitu. Lah terus apa mereka tidak seperti itu?"
"Bujangan? Mereka bujangan tajir. Tapi yang inti adalah agamanya. iya kan, Pang? Mereka muslim, tapi ibadahnya itu loh. Bolong-bolong! Belum berkeluarga saja sudah kayak gitu apalagi kalau sudah beranak istri! Berkeluarga bukan hal yang enteng. Bukan hanya sekadar menjawab Qobiltu109 bagi mempelai laki-laki. Tapi di balik itu semua ada tanggung jawab besar menanti di pelupuk matanya. Mendidik, membina, melestarikan keluarga dan membahagiakan mereka lahir bathin. Kamu sudah tahu sendiri lah, Pang!" Jelasnya panjang lebar.
Gila! Omongannya itu loh. Semangat 45!.
"Hati-hati loh, In. Kalau kamu banyak memilih biasanya sulit untuk mendapatkan-nya? Ingat, In. Kamu wanita yang sudah berumur loh, 27 tahun. Apa kamu nggak khawatir jadi perawan tua?"
"Eh … dongain yang bener dong! Sama temen sendiri doanya koq kayak gitu sih!" Indah manyun.
"Ini bukan doa, cah ayu! Ini sekadar memperingatkan kamu!" Tanpa sadar ada kata aneh yang keluar dari mulutku. Ups … Aku memujinya … cah ayu! Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal sambil cengengesan, "Sorry …, keceplosan! " Dari salah ucapku itu-aku sempat melihat di kaca spion, Indah yang tersenyum malu dan Indri yang cekikikan110, …
Sialan!
Pulang barengku dengan Indah dan Indri membuat geger orang serumah.
"Cantik banget, Pang. Calonmu?" Tanya bang Ical, dan ibu di dapur sambil menyiapkan nyamikan.
"Teman Naufal dulu di SMU!" Singkat.
Bakalan kacau nih kalau aku jelaskan semuanya. Bang Ical pasti bakalan ngledek lebih panjang. Bang Ical memang nggak pernah hilang usilnya meski dia sudah punya dua anak, Najeh yang berumur empat tahun dan Ofa yang baru dua tahun.
"Mbak Yanti ke mana, bang?" Sengaja kualihkan pembicaraan dengan menanyakan mbak Yanti, istri bang Ical yang menikah lima tahun yang lalu.
"Lagi nunggu butik!"
"Najeh dan Ofa juga?"
"Lagi diajak Nila ke Dieng!"
"Mbak Nila pulang?"
"Ketinggalan zaman kamu, Pang! Udah seminggu ini dia di rumah. Katanya ada proyek di Dieng!"
Ibu tampak asyik masyuk ngobrol dengan Indah. Sementara bang Ical kudu balik lagi ke Puskesmas IDI Cabang Wonosobo.
Sejak meninggalnya Bapak, Ibu menyerahkan semua urusan perusahaan kepada lik Yanto, saudara kandung ibu sendiri yang juga merupakan tangan kanan kepercayaan Bapak. Ibu sama percayanya seperti Bapak kepada lik Yanto. Dan lebih Alhamdulillah lagi, lik Yanto tak pernah menghianati amanat dan kepercayaan yang telah Ibu berikan. Tiap bulan lik Yanto selalu melaporkan perkembangan yang terjadi. Bahkan atas saran lik Yanto juga tiap bulan zakat atas penjualan produk-produk kain perusahaan selalu dikeluarkan.
Alhamdulillahirobbil’alamin …
Sementara kegiatan Ibu saat ini mengikuti saranku, mengikuti tarikat Naqsabandiyah. Sudah saatnya ibu untuk lebih mementingkan ibadah dan beristirahat. Dan lebih membahagiakan lagi, ibu, bang Ical, mbak Yanti, mba’ Nila dan aku tahun depan mau bareng-bareng ke tanah suci. Alangkah indahnya kalau ibadah itu dilakukan bareng-bareng sama bapak.
Hiks … jadi ingat bapak deh!
"Kamu dan mbak Indah ini langsung dari Purbalingga, Fal?" Tanya ibu.
"Nggak, bu. Tadi mampir dulu di pemakaman bapaknya Naufal. Sekalian Indah mau minta maaf, dulu sewaktu Bapak meninggal Indah nggak ta'ziah. Eh … pas sowan111 ke sini malah ibu sekeluarga lagi pada tindakan!" Jelas Indah menjawab pertanyaan ibu yang sebenarnya ditujukan padaku.
"Nggak apa-apa! Malah ibu yang minta maaf. Nggak tahu akan ada tamu temannya Naufal!"
"Oh iya, bu. Naufal mau pamit sekalian sama ibu. Besok, seminggu lagi Naufal akan pergi ke Jakarta barang satu minggu!" Pamitku menyela mbok-mbok112 aku nggak kebagian waktu untuk berbicara.
"Ke Jakarta? Ada acara apa, Fal?" Tanya ibu.
"Naufal diundang untuk mengikuti Muktamar Lintas Organisasi di Jakarta Convention Center!"
"Ibu izinin, tapi kamu hati-hati ya! Jangan lupa makan!" Pesan ibu.
Beliau masih saja ingat kebiasaanku, telat makan.
"Iya, bu! Santai saja lagi, dari panitia kan sudah dapat jatah makan! Jadi ibu nggak usah khawatir deh!" Ucapku manja.
Sore hari, setelah bertemu mbak Yanti, Najeh dan Ofa serta bang Ical kami pamitan untuk pergi ke rumah Indah yang diteruskan langsung pulang ke Purbalingga.
Memang benar seperti apa yang pernah dikatakan Indah, bapaknya, alias ustadz Rohman senang banget dapat kabar kalau aku nyantri di pesantren. Terlebih di pesantrennya romo kyai Ubaid El Zakky.
Kata beliau romo kyai itu teman ngajinya dulu di salah satu pesantren di Jawa Timur. Kemudian romo kyai hijrah ke Makkah di Ma'had El Maliky.
"Kamu jangan sampai ninggalin belau, Fal! Selagi kamu masih punya kesempatan untuk mendalami ilmu, tetaplah kamu di situ. Ketika nyantrinya saja dia sudah diyakini dapat mewarisi keilmuan yang dimiliki almarhum mbah Husain, guru kami di Jawa Timur dulu!" Pesannya singkat.
"Mudah-mudahan apa yang kamu jalani ini membuat kamu makin tahu arti hidup, Fal!" Tambahnya.
Amien …
***
00.00 WIB
48 jam sebelum keberangkatan …
Aku sengaja melakukan suatu hal yang mengejutkan. Khitbah.
Benar-benar sesuatu yang membuat Indah terkejut.
"Apa …? Melamarku? Kamu lagi ngelindur113 ya, Pang?" Katanya bergetar meski harus ia tutupi dengan canda.
"Aku serius, In!"
Sebenarnya aku nggak yakin dengan keputusan ini.
Punya modal apa kamu, Pang? Berani-beraninya kamu menginginkan dia untuk menemani hidup masa tua manusia macam kamu!
Apa yang bisa diharapkan dari kamu? Tanya hati ini pada diri sendiri.
Yang jelas bukan kekayaan yang dimiliki Indah yang aku pilih. Bukan pula kesuksesannya. Dan lagi bukan pula gelar yang disandangnya. Tapi, sosok keibuan yang dimilikinya yang aku idamkan.
Dia, adalah salah seorang yang telah berperan penting dalam pencarian jati diriku, mengantarkanku mendapat hidayah Ilâhiyyah. Aku berjanji akan membalas budi baiknya. Meski budi baik tak akan pernah dapat terlunasi, tapi setidaknya aku bisa membahagiakan dia mengarungi hidup di masa tua. Menjalani bersama kehidupan bersama dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama dan tali Allah SWT di jaman edan.
Bukan ini saja alasannya. Satu lagi, aku butuh teman hidup yang bisa dan mampu untuk saling mengingatkan, saling percaya dan saling mengayomi. Sosok ini telah aku temukan pada pribadi Indah.
Sudah sejak dulu memang sempat rasa ini muncul waktu pertama kali aku menginjakkan kakiku di rumah Indah. Tapi untungnya Allâh SWT berkenan untuk merubah pribadiku dulu. Dan mungkin pula ini yang dinamakan jodoh.
"Punya modal apa kamu, Pang? Koq beraninya kamu ngelamar aku?"
Pertanyaan Indah memang ganas menembus jantung hati ini. Tapi aku yakin ini bukan sifatnya. Ini hanya sekadar hentakannya.
"Aku memang tak punya apa-apa. Hanya keyakinan yang aku punya. Tak lebih. Yakin bahwa Allah SWT akan membantu mereka yang mau berusaha dan mau menyandarkan semua kepadaNya!"
"Pang, kalau memang apa yang kamu katakan itu benar adanya. Datang ke rumahku ngomong langsung sama bapak dan ibu! Karena beliau berdualah yang memiliku saat ini!" Ucap Indah mulai serius …
Yes … pertanda …
"Ya, In. Niatku juga begitu. Tadi sore aku matur114 sama ibuku, beliau menyetujuinya. Termasuk bang Ical dan mbak Nila juga mbak Yanti. Meski mereka baru melihatmu sekali, tapi mereka juga meyakini apa yang aku yakini!"
"Memangnya apa yang kalian yakini dari aku?"
"eR … Ha … eS …! Belum saatnya kamu mengetahuinya. Sehari setelah kepulanganku dari Jakarta, keluargaku akan berkunjung ke rumahmu!"
"Cepet amat, Pang! Apa kamu nggak capek?"
"Lelahku akan usai bebarengan dengan urusanku!" Jawabku mantap meyakinkan waktuku yang telah tiba.
Kemantapanku pun akhirnya diakhiri dengan pesan Indah, "Kamu hati-hati yach, Fal! Aku menunggu waktu yang telah kau janjikan itu!".
S E D O S O115

Hidupku …
Tinggal selangkah lagi,
Akupun semakin ringan melangkahkan kakiku
Semakin rindu hati ini,
Menuju kekasih
Mencari cinta hakiki

Di luar dugaanku sebelumnya, …
Aku pikir Muktamar Lintas Organisasi yang diadakan di JCC dan dibuka secara simbolis oleh Presiden RI, bapak Susilo Bambang Yudoyono akan begitu sangat resminya. Tapi nyatanya, semuanya diluar dugaan.
Acara dikemas dengan sangat santai dan sangat kekeluargaan. Hampir semua acara dilakukan secara lesehen. Mulai dari diskusi interaktif, bahsul masail dari berbagai keilmuan dan berbagai madzhab yang mudawwan, ramah-tamah, dan makan-makan. Tak ketinggalan sambutan yang disampaikan oleh Presiden pun dilakukan tanpa mimbar khusus dan kami tetap mendengarkannya dengan lesehan.
Terlebih tata ruang yang berkapasitas 1000 orang itu didekor secara khusus ala padang pasir menambah keakraban dan kesadaran akan begitu kecilnya manusia di sisi Allah SWT.
Hari pertama MLO di JCC, …
Dibuka secara resmi oleh bapak SBY dengan begitu mengagumkan. Kedatangan beliau tanpa kawalan dan beliau berkenan untuk turut bergabung duduk ditengah-tengah peserta MLO dengan lesehan dan penuh keakraban.
Hari itu memang beliau khususkan untuk mengikuti acara tersebut tanpa ada kawalan ataupun fasilitas kepresidenan.
Hari kedua, ketiga, keempat MLO di JCC,…
Semua perwakilan organisasi menyampaikan pandangannya masing-masing tentang arti beda. Termasuk aku yang tanpa disangka-sangka ditunjuk untuk mewakili keluarga besar pondok pesantren se-Indonesia.
"Kalau cara pandang terhadap suatu masalah saja berbeda, apalagi dalam mencari jalan keluarnya. Sebagai contoh perbedaan dalam tahyat. Ada segolongan kelompok yang berbeda pendapat dalam menggerakkan jari telunjuk dalam tahyat. Hal ini adalah contoh kecil dari perbedaan-perbedaan tersebut. Kelopok pertama, mengartikan kata harroka yang mengukuti wazan fa’ala dengan menggunakan tasydid pada huruf ‘ain yang memiliki lima fungsi penggunaan wazan tersebut. Salah satunya kelompok pertama mengartikan kata harroka dengan fungsi ta’diyyah yang memiliki arti menggerakkan. Sedangkan kelompok kedua mengartikan harroka menggunakan fungsi lit taktsir yang memiliki arti menggerak-gerakkan. Perbedaan seperti ini janganlah diperruncing. Kalau tidak salah Nabi pernah bersabda yang artinya perbedaan dalam umatku adalah suatu berkah. Janganlah berkah yang dikatakan Nabi ini menjadi sebuah perpecahan umat. Perbedaan seperti itu sudah ada jawabannya sejak dulu. Dan tidak pantas kita terus menerus berlarut-larut dalam perbedaan itu. Karena semua sudah ada dasar-dasar tertulis dalam masing-masing ajaran madzhab. Kita memang beda, tapi kita juga punya banyak persamaan. Kita sama-sama hidup dalam keluarga Islam. Kita sama-sama makhluk Allah SWT. Mari kita hidup dengan kerukunan Islam dengan melaksanakan ajaran madzhab kita masing-masing tapi tetap dengan satu tujuan, li I'lâi kalimâtillâh116. Katakan beda itu indah!"
Entah suatu apa yang mendorong ucapanku itu mendapat applous luar biasa dari peserta MLO. Bahkan ketika aku kembali ke tempatku semula banyak di antara mereka yang menyalamiku penuh arti. Dalam hati aku membanggakan romo kyai yang telah banyak membimbingku dengan sabarnya.
Hari kelima MLO di JCC, ...
Sebagian peserta diberi kehormatan untuk ramah-tamah bareng keluarga Presiden dan Wakil Presiden di Istana Kepresidenan, termasuk salah satunya adalah aku. Suatu kebahagiaan sendiri bagiku mengikuti acara itu.
Selesainya kami beramah-tamah dengan presiden dan Wakil Presiden sekeluarga, kami serombongan menyusul peserta MLO yang telah diberangkatkan lebih dulu ke Cirebon, ke makam Sunan Gunung Jati untuk berziaroh.
Dalam perjalanan, waktu itu aku gunakan untuk beristirahat guna menyiapkan tenaga untuk kepulangan kami ke wilayah masing-masing. Rencananya penutupan dilaksanakan di Cirebon setelah istighotsah akbar di alun-alun.
Benar-benar suatu perjalanan yang sangat melelahkan dan mengesankan.
Hari terakhir MLO di Cirebon, ...
Peserta istighozah akbar di alun-alun kota Cirebon tumpah-ruah membanjiri lapangan, jalan raya dan sebagian halaman pertokoan. Arus lalu lintas jalur kota mati total gara-gara acara itu.
Istighotsah yang dipimpin oleh seorang ulama sepuh kota Cirebon yang karismatik membuat suasana semakin sejuk dengan suaranya yang terdengar jelas makin parau ketika membaca doa.
Banyak dari peserta istighotsah meneteskan air mata mendengar doa itu. Suara mengamini doa pun terdengar bagai lebah mengelilingi sarangnya. Semua larut tenggelam memohon ampun kepada Yang Kuasa, memohon keselamatan hidup di dunia yang penuh dengan dosa dan akherat yang penuh kekhawatiran.
...
Entah siapa yang mendahuluinya, seusai doa bibarkatil fatihah117 secara serempak gemaan istighfar mendayu-dayu ...
Astaghfirullâh robbal baroya ...
Astaghfirullâh minal khothoya ...
Robby zid nî 'ilman nafî'a ...
Wa wafiqni 'amalan maqbûla ...
... hampir seperempat jam istighfar itu terlantunkan. Sampai akhirnya berhenti dengan sendirinya akibat tangis yang sudah tak tertahankan.

Sore hari, semua peserta MLO saling bersalaman di masjid agung Cirebon untuk kembali ke wilayah masing-masing. Seribu kali kami bersalaman. Seribu kali pula kami saling mengucapkan salam perpisahan.
Terlampau berat …
Ba'da shalat maghrib yang di jama' taqdim dengan shalat isya, secara resmi kepulangan peserta MLO dilepas oleh Bupati Cirebon. Lantunan adzan dan teriakan Allâhu Akbar yang saling bersahutan mengiring perpisahan kami.
Satu persatu bus pariwisata yang membawa keberangkatan kami melaju pelan mengantarnya kembali.
Lelah, sedih, senang, bangga … semua rasa itu bercampur dalam hati kami. Termasuk aku.
Rasa tenang setelah melaksanakan shalat isya mengantarkanku untuk memejamkan mata. Hampir semua peserta rombongan kabupaten Purbalingga tak menyia-nyiakan waktu itu untuk memulihkan tenaga, untuk beristirahat, untuk tidur.
Laju bus pariwisata yang kami tumpangi masih terasa di tubuhku. Meski sudah tidur hampir enam jam, tapi perasaanku masih saja mengikuti gerak laju roda yang mengalun stabil melewati jalan-jalan berkelok dan licin sehabis disiram gerimis sore hari.
Tiba-tiba …
Derit rem yang diinjak supir mengagetkan tidur kami. Sekilas di depan terlihat sebuah kecelakaan sepeda motor yang tergelincir kepinggir jalan karena terlalu menikung.
Tapi sayang kecelakaan itu justru membuat supir lalai. Ia terlambat membelokkan laju bus dan akhirnya seraya paniknya ia membanting stir ke arah berlawanan.
Innâ lillâhi …
Semua membaca tarji',
Lâ ilâha illallôh …
tahlil …
Allahu akbar …
takbir …
Astaghfirullâhal'adzîm …
istighfar …
Subhanallâh …
… dan bertasbih,
Ciit … ciit … ciit …
Derit ban yang beradu kekuatan dengan aspal yang licin semakin terdengar menakutkan.
Innâlillâhi wa innâ ilaihi rôji'un …
Teriakan tarji' yang keluar dari setiap bibir yang terkagetkan.
Allahu akbar …
Lirih aku bergumam, "Aku takut … Ya Allah!"
Astaghfirullâhal 'adzîm … Desahan istighfar dari hati yang ketakutan.
Subhânallâh …
Aku berusaha mencari pegangan untuk menahan tubuhku agar tak mengikuti laju bus yang mulai menghawatirkan.



Sia-sia bus sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Dan lebih sia-sia lagi aku gagal mencari pegangan. Hanya biji-biji tasbih yang masih menggantung di sela-sela jari telunjuk dan tengahku yang bisa aku temukan.
Tubuhku mulai terpental ke beberapa arah. Namun biji tasbih itu masih tetap tergenggam erat sembari berputar lirih mengiringi desahan istighfar dan tahlilku.
Astaghfirullâhal 'adzîm …
Lâ ilâha illallôh …
Astaghfirullâhal 'adzîm …
Entah dari mana asal muasalnya muncul berkelebatan bayangan-bayangan putih mendahului laju bus yang mulai merebahkan tubuhnya ke jalan.
Bayangan itu berjumlah ratusan dan sejenak kulihat wajah mbah kakung menengok di tengah-tengah mereka seraya tersenyum dengan sangat manisnya menenangkan hati dan …



Aku berdiri di pinggir gundukan tanah yang masih basah di tengah-tengah para ta'ziyyin118.
Tampak di depanku ibu, bang Ical, mbak Nila. Mereka tampak lebih muda dengan tangisannya itu. Bahkan air mata yang deras yang mengalir di pipi ibu pun semakin mempercantik wajah ayunya.
Dan …
Naila, Naila juga ada di sini!
Indah juga!
Tapi, siapakah yang lagi mereka tangisi …
"Ibu?" Tanyaku lirih, "Siapa yang lagi ibu tangisi?"
Ibu memandang ke arahku dengan tatapan kosong. Pertanyaan itu bukan dijawabnya dengan kata-kata, tapi malah membuat beliau menangis lebih dalam dan memejamkan mata, pingsan.
"Ibu!" Teriakku sambil berusaha memegang pundaknya. Namun bang Ical mendahuluiku membopong beliau di bantu beberapa kerabat.
Aku mendekati Indah, memandang wajahnya yang memelas. Kasihan.
"Indah? Siapa yang lagi kau tangisi?" Tanyaku di sampingnya.
Indah tak menjawab malah ia merangkul Naila yang ada persis di sampingnya sambil menutup raut wajahnya dengan selembar surat kabar yang dibawanya.
Akupun berlalu menuju seorang bapak-bapak yang tengah memeluk erat batu nisan. Di tangan kanannya, tepat menempel di belakang batu nisan sebuah buku tebal, lecek dan kusam.
"Maaf,… kalau boleh saya tahu siapa sih yang meninggal?" Tanyaku sopan sebagai seorang santri di depan orang yang lebih tua.
Sejenak orang itu mirip banget sama almarhum bapak. Dari perawakannya, potongan rambutnya, dandanannya …
"Apa bapak punya saudara kembar ya?" Batinku bertanya-tanya tentang perihal orang itu. Setahuku bapak nggak pernah cerita kalau beliau punya saudara yang mirip banget perawakannya deh.
Orang itu menatapku penuh arti.
Benarkan wajahnya pun mirip banget sama bapak! Hanya saja orang ini lebih muda. Tepatnya mirip bapak waktu masih berumur 53 tahunan.
"Naufal …!"
Loh dari mana dia tahu namaku? Alah masa bodoh … yang penting untuk saat ini aku kepingin tahu dulu siapa yang meninggal dunia. Koq orang-orang yang aku sayangi ada di sini semua?
Aku mengangguk, pertanda dia menanggapi pertanyaanku.

"Maafkan bapak, Fal! Bapak nggak pernah menjadi bapak yang baik bagi anak-anaknya. Bapak terlalu banyak dosa dan kesalahan kepada kamu, Fal! Maafkan bapak …!" Katanya menggetkanku. Seakan dunia ini berguncang ketika kata-kata itu keluar dari mulunya dan aku terlempar jauh darinya. Terlebih ketika dia meletakkan buku itu. Ya, buku diary-ku, Diary Bersampul Darah.
"Bapak, kita semua sayang Naufal. Tapi semua ini sudah menjadi takdir kita. Dan Allah lebih berhak atas semua ini …! Kita doakan saja bareng-bareng ya, pak! Mudah-mudahan Allah SWT berkenan mengampuni dosa dan kesalahan Naufal!" Pesan singkat mbak Nila sembari mengajak bapak pulang.



Innâlillâhi wa innâ ilaihi rôji'ûn …
Innâlillâhi wa innâ ilaihi rôji'ûn …
Innâlillâhi wa innâ ilaihi rôji'ûn …

Aku pingsan di pinggir jasadku yang terbungkus rapi menanti Mungkar dan Nakir …!
P U N G K A S A N 119

Mataku …
kini tak buta lagi,
Telingaku …
bisa mendengar lagi,
Hatiku …
pun kini akhirnya
bisa menerima pernyataan,
Bahwa aku tak sanggup untuk menolak
Semua ketentuan Ilâhi



Aku masih pingsan.
Pingsan di pinggir jasadku yang terbungkus rapi.
Menanti Mungkar dan Nakir …!
Ibu pulang,
Bapak pulang,
Bang Ical pulang,
Mbak Nila pulang,
Naila pulang,
dan
Indah juga pulang,
Semua pulang,
Tak ada yang tertinggal.
Tak ada yang mau menemani.
Hanya jasad yang berlapis tiga kain putih murahan yang bakal bersatu kembali dengan asalnya.
Karangan bunga yang bakal busuk dimakan waktu.
Dan selembar surat kabar yang sengaja ditinggal Indah, bertuliskan …

KECELAKAAN YANG MENGHENTIKAN AKSI PENCULIKAN
Wonosobo-Kecelakaan yang merenggut nyawa seorang pemuda berinisial NI yang terjadi 2 hari (senin) kemarin meninggalkan luka yang mendalam tidak hanya bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya di sebuah SMU Favorit di Wonosobo. Sebuah keluarga yang berasal dari Purbalingga pun juga merasakan kehilangan sosok yang belum dikenalnya ini.
Pasalnya korban telah menyelamatkan salah satu anggota keluarganya yang bernama Zinidane Fathurrahman (7) yang akrab disapa Gus Diddin-putra dari KH. Ubaid El Zaky Pengasuh Pondok Pesantren Pring Petuk Purbalingga yang mendapatkan suntikan dana hibah dari pengusaha Mesir sebesar 2 M yang tengah berlibur di rumah salah seorang kerabatnya. Gus Diddin yang tengah berangkat ke Masjid untuk menemani sepupunya, Fikri (10) mengaji, dihadang oleh tiga pemuda berperawakan tinggi berseragam jaket kulit dan kaca mata yang bertengger di pangkal hidungnya masing-masing menggu-nakan jeep hitam.
Satu di antaranya telah memegang pundak Fikri sementara yang lain mendekati Gus Diddin. Gus Diddin yang melihat kejadian itu langsung lari. Keadaan yang sepi dan jauh dari keramaian tersebut membuat gus Diddin teriak keras minta tolong.
Pemuda yang memegang pundak fikri lengah. Dengan sigap Fikri menggigit tangan besar yang membekap mulutnya.
Siempunya mengerang kesakitan dan melepaskan bekapannya. Kesempatan ini digunakan Fikri untuk melarikan diri kembali ke rumah untuk mencari bantuan.
Adegan kejar-kejaran antara Gus Diddin dengan dua pemuda itu terjadi sampai di sebuah tikungan. Di tempat itulah NI yang tengah merayakan kelulusan SMU-nya dengan kebut-kebutan di jalanan menghenti-kan adegan kejar-kejaran tersebut.
Gus Diddin yang mencoba menyeberang jalan tersenggol motor yang melaju di atas 80 km/jam yang dikendarai NI. NI kaget dan tak mampu mengendalikan motornya yang oleng dan terseret keras sampai membentur tugu pembatas kecamatan. Gus Diddin terlempar sejauh 5 meter keluar jalanan namun hanya lecet-lecet kecil yang dialaminya.
Kecelakaan tersebut mengundang perhatian masyarakat yang berjarak 100 m dari tempat tersebut.

NI menghembuskan nafas terakhirnya semalam setelah dirawat di RSUD Wonosobo tanpa mengalami kesadaran sedikitpun. Dan akan dimakamkan di TPU di Desanya.
Sementara ketiga pemuda pelaku rencana penculikan kini meringkuk di Polres Wonosobo berkat kerja sama yang baik antara pihak berwenang dan masyarakat setelah mendapatkan kabar dari Fikri.






Wassalam …